Isra’ Mi’raj: Evolusi Jiwa, Orbit Ilmu, dan Resonansi Peradaban
Oleh: Hafsan
Peringatan Isra’ Mi’raj bukan sekadar agenda seremonial, tetapi sebuah momentum untuk merenungi hikmah yang tersirat dalam perjalanan luar biasa ini. Dari tausiyah yang disampaikan dalam peringatan sejarah perjalanan spritiual Rasulullah ﷺ tersebut hari ini, ada pesan yang begitu menggugah: update dan upgrade kepribadian, kebangkitan ilmu, serta kebangkitan umat.
Perjalanan spiritual Rasulullah ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naik menembus lapisan-lapisan langit hingga Sidratul Muntaha, bukan sekadar mukjizat—sebuah perjalanan yang melampaui dimensi waktu dan ruang, menembus batasan fisika yang mampu kita nalari, yang harus kita imani tanpa makna reflektif. Sejatinya peristiwa itu mengajak kita untuk merenungi makna perjalanan manusia itu sendiri—sebuah perjalanan yang tidak hanya membutuhkan langkah fisik, tetapi juga kesiapan mental, spiritual, dan intelektual. Peristiwa ini mengandung pesan mendalam tentang transformasi diri, perjalanan menuju puncak ilmu, dan kebangkitan kolektif sebuah peradaban. Sebagaimana pesan yang disampaikan, kesucian hati adalah syarat untuk maju, dan move on dari hal-hal negatif adalah prasyarat menuju kemajuan. Isra’ Mi’raj bukan hanya perjalanan Rasulullah ﷺ yang kita kenang—juga peta jalan bagi kita, sebuah manifesto transformasi, perjalanan evolusi jiwa, dan kebangkitan peradaban.
Evolusi Jiwa: Dari Stagnasi Menuju Kesempurnaan
Dalam biologi, kita mengenal konsep evolusi—sebuah proses panjang yang membawa makhluk hidup dari bentuk sederhana menuju kesempurnaan adaptasi. Namun, adakah yang lebih membutuhkan evolusi daripada jiwa manusia itu sendiri? Isra’ Mi’raj adalah panggilan bagi kita untuk beranjak dari stagnasi, meninggalkan kebiasaan yang menghambat, dan meng-upgrade kepribadian. Sebagaimana organisme yang beradaptasi agar bertahan, manusia pun harus berubah agar mampu mengarungi kehidupan. Hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan semangat yang berkobar adalah bahan bakar utama menuju transformasi sejati.
Sebelum perjalanan besar ini, hati Rasulullah ﷺ dibersihkan dan disucikan hati dan jiwanya—sebuah simbol bahwa kesucian batin adalah syarat mutlak bagi kebangkitan sejati. Kita tidak bisa berharap melompat menuju kemajuan jika masih membawa racun kebencian, prasangka buruk, dan kepicikan dalam berpikir. Seperti tubuh yang tidak bisa berfungsi optimal jika dipenuhi toksin, demikian pula jiwa manusia yang harus mengalami detoksifikasi dari segala hal yang menghambatnya.
Menelusuri Langit Pengetahuan: Kebangkitan Peradaban Melalui Ilmu
Ketika Rasulullah ﷺ naik ke langit, beliau melintasi berbagai lapisan pemahaman, bertemu dengan para nabi, dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Ilahi. Ini bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga sebuah simbol eksplorasi ilmu yang tak berbatas. Sejarah telah membuktikan, bahwa peradaban yang bangkit adalah peradaban yang mencintai ilmu. Dari Zaman Keemasan Islam yang melahirkan ilmuwan seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Jazari, hingga kemajuan bioteknologi yang kita nikmati hari ini—semuanya berakar pada semangat manusia dalam menelusuri langit ilmu pengetahuan.
Dalm biologi, kita mengenal neuropastisitas, kemampuan otak untuk terus belajar dan berkembang. Ini mengajarkan kita bahwa tidak ada batasan dalam menggali ilmu. Seperti Rasulullah ﷺ yang melintasi langit-langit pengetahuan, kita pun harus terus mendaki, menembus batas kebodohan, dan meretas jalan menuju kebangkitan intelektual.
Kebangkitan Umat: Harmoni Ekosistem dalam Peradaban
Perjalanan ini juga membawa pesan penting tentang kesatuan umat dan kebangkitan kolektif. Dalam ekologi, sebuah ekosistem yang sehat tidak ditopang oleh satu spesies saja, tetapi oleh jaringan kehidupan yang saling menopang, berinteraksi, dan menjaga keseimbangan. Begitu pula dengan umat manusia. Kita tidak bisa maju sendirian. Kita adalah bagian dari rantai besar kehidupan, di mana setiap individu memiliki peran. Seperti simbiosis mutualisme, kita harus saling menguatkan, bukan saling melemahkan. Sebab kebangkitan sejati bukan hanya tentang seorang individu, tetapi tentang sebuah peradaban yang bersinergi, bergerak dalam harmoni.
Isra’ Mi’raj mengajarkan bahwa kebangkitan bukan datang dari kepasrahan, tetapi dari kesadaran kolektif untuk bangkit bersama. Sebagaimana Rasulullah ﷺ membawa umatnya menuju perubahan besar, kita pun harus menjadi bagian dari arus transformasi ini.
Kesucian Hati dan Prinsip Homeostasis: Keseimbangan Jiwa dan Kehidupan
Dalam tubuh manusia, ada sistem homeostasis, mekanisme yang menjaga keseimbangan agar tubuh tetap stabil meskipun menghadapi berbagai tekanan eksternal. Begitu pula dalam kehidupan, kita harus mampu menjaga keseimbangan. Tidak semua perjalanan mudah, tidak semua langkah ringan. Akan ada badai, akan ada kegagalan, akan ada ujian yang menggoyahkan. Tapi seperti tubuh yang selalu mencari cara untuk kembali ke keseimbangan, jiwa kita pun harus belajar untuk bangkit dari keterpurukan, meninggalkan masa lalu, dan move on menuju cahaya kebaikan.
Isra’ Mi’raj adalah panggilan untuk meninggalkan segala yang buruk dan memilih yang lebih baik. Seperti organisme yang menghapus sel-sel yang sudah usang dan menggantinya dengan yang baru, kita pun harus berani melepaskan beban masa lalu, membuang hal-hal yang menghambat, dan memilih jalan menuju kehidupan yang lebih terang.
Isra’ Mi’raj bukan hanya perjalanan Rasulullah ﷺ, tetapi juga metafora perjalanan umat manusia menuju kebangkitan. Sebuah panggilan untuk berevolusi, meninggalkan yang buruk, memilih yang baik, dan terus menelusuri ilmu hingga ke puncak langit. Perjalanan ini mengajarkan bahwa spiritualitas dan sains bukan dua entitas yang terpisah. Keduanya berjalan seiring—seperti Rasulullah ﷺ yang naik ke langit dalam pengembaraan spiritual sekaligus intelektual, kita pun harus menjadikan iman dan ilmu sebagai sayap untuk terbang lebih tinggi. Isra’ Mi’raj adalah simfoni langit yang mengajarkan harmoni kehidupan, keseimbangan antara hati dan akal, antara spiritualitas dan sains, antara individu dan komunitas.
Kini, pertanyaannya adalah: sudahkah kita beranjak dari keterpurukan menuju kebangkitan? Sudahkah kita meninggalkan stagnasi menuju transformasi? Sudahkah kita menelusuri langit ilmu pengetahuan, melampaui batas-batas yang membelenggu kita?
Isra’ Mi’raj bukan sekadar sejarah. Ia adalah peta jalan. Ia adalah tanda di langit yang memanggil kita untuk melangkah lebih jauh, menembus batas, dan menemukan cahaya yang lebih terang. Maka, mari kita bergerak. Bangkit. Berubah. Berevolusi. Sebab langit selalu luas bagi mereka yang ingin terbang lebih tinggi.[HF]