Pemerintah menargetkan efisiensi anggaran hingga 44 miliar dollar AS atau setara Rp 750 triliun pada tahun pertama kepemimpinannya. Tujuannya? Membiayai program Makan Bergizi Gratis dan menyuntik dana ke BPI Danantara. Namun, darimana dana itu diambil? Dari pemangkasan anggaran seluruh kementerian dan lembaga, termasuk sektor pendidikan tinggi. Konon, nantinya Rp 58 triliun dari hasil efisiensi itu akan dikembalikan lagi ke 17 Kementerian/Lembaga. Namun, kita belum tahu, akankah sektor pendidikan tinggi mendapat bagian yang layak? Ataukah akan terus tereksploitasi, dipaksa bertahan dengan sisa-sisa harapan, setelah anggarannya dikerat, dihisap, dan mungkin akan ditinggalkan.
Pendidikan seharusnya menjadi mercusuar peradaban, namun kini justru diterangi dengan lilin yang kian meredup. Anggaran dipangkas, fasilitas dibatasi penggunaannya, para dosen dan tendik berjibaku dengan ketidakpastian, dan para mahasiswa diperas dengan beban biaya yang kian mencekik. Yang lebih menyakitkan, dana Badan Layanan Umum (BLU) perguruan tinggi yang sebagian besar berasal dari mahasiswa justru ikut disedot. Ironi yang menyesakkan, mahasiswa yang sudah tersengal-sengal membayar UKT, justrru diperuntukkan menyumbang ke negara. Untuk apa? Untuk memenuhi syahwat ambisi dalam proyek populis yang entah manfaatnya bagi mereka di masa depan. Makan gratis boleh jadi mengenyangkan sesaat, tetapi pendidikan yang layak adalah asupan bagi masa depan.
Dampak pemangkasan anggaran ini tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa, tetapi juga oleh para dosen yang memikul tanggung jawab menjalankan tridarma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan berkurangnya anggaran, riset-riset inovatif yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa terhambat, pengabdian masyarakat terbengkalai, dan kualitas pembelajaran pun menurun. Tanpa dukungan pendanaan yang layak, bagaimana mungkin perguruan tinggi bisa menghasilkan penelitian berkualitas? Bagaimana mungkin inovasi bisa berkembang jika penelitian dibebani keterbatasan dana? Bagaimana mungkin dosen bisa menjalankan tugas akademiknya secara optimal jika semua fasilitas dipangkas atas nama efisiensi?. Dalam Islam, ilmu adalah cahaya, dan Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" (HR. Muslim). Maka bagaimana mungkin kita membiarkan ilmu menjadi barang langka dan mahal, sementara Islam sendiri mewajibkan pencarian ilmu sebagai bagian dari ibadah?
Sungguh ironis, pemangkasan anggaran selalu dimulai dari sektor yang paling dibutuhkan rakyat kecil, tetapi tidak pernah menyentuh fasilitas pejabat yang berlebihan. Sementara universitas dipaksa bertahan dengan anggaran yang dikurangi, gedung-gedung megah pemerintahan terus berdiri, kendaraan dinas mewah tetap melaju, dan tunjangan pejabat tetap mengalir deras. Efisiensi yang dikorbankan hanya dari bawah, sementara mereka di atas tetap menikmati kenyamanan tak terganggu. Seharusnya, jika efisiensi benar-benar menjadi niat utama, mengapa bukan fasilitas mewah pejabat yang lebih dahulu dikurangi? Mengapa bukan perjalanan dinas yang kerap kali berlebihan dan seremonial yang lebih dahulu dihapus? Mengapa rakyat selalu yang diminta berkorban, sementara pemimpin terus menikmati privilese yang bertolak belakang dengan kesulitan yang dialami masyarakat luas?. Lebih jauh lagi, bukan hanya fasilitas mewah yang tetap bertahan, tetapi juga penggemukan birokrasi yang justru semakin menjadi-jadi. Penambahan jumlah kementerian, staf khusus yang jumlahnya terus bertambah tanpa transparansi terkait efektivitasnya, serta berbagai belanja negara yang lebih berorientasi pada pencitraan ketimbang manfaat langsung bagi rakyat, semakin mempertegas ketimpangan kebijakan ini. Di satu sisi, rakyat diminta untuk berhemat, tetapi di sisi lain, struktur pemerintahan semakin gemuk dan menguras lebih banyak anggaran. Bukankah ini suatu kontradiksi yang nyata? Seolah-olah efisiensi hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara para pemangku kebijakan tetap hidup dalam kenyamanan yang terjaga.
Pemangkasan anggaran ini bukan sekadar angka-angka dalam tabel APBN. Ini adalah wajah dari kebijakan yang kehilangan nurani. Jika benar efisiensi diperlukan, mengapa tidak memangkas keborosan di tempat lain? Mengapa bukan proyek-proyek mercusuar yang dipertanyakan manfaatnya? Mengapa bukan belanja birokrasi yang gemuk dan korupsi yang terus menjalar?. Bukankah lebih baik membangun manusia yang cerdas dibanding menciptakan investasi yang membingungkan? Bukankah lebih bijak menyalakan obor ilmu dan daripada mempertaruhkan masa depan di tangan spekulasi ekonomi?
Allah SWT telah memperingatkan dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd: 11). Artinya, jika kita ingin melihat perubahan yang lebih baik, kita harus berani bersuara, berjuang, dan tidak tinggal diam. Kita tidak bisa diam. Kita tidak boleh terbiasa dengan ketidakadilan yang dianggap wajar. Pendidikan adalah hak dasar, bukan sekadar beban fiskal yang bisa dipangkas sesuka hati. Masyarakat perlu bersuara, akademisi perlu mengedukasi dan bergerak, dan pemerintah perlu diingatkan bahwa kebijakan yang baik bukanlah yang sekadar menghemat anggaran, tetapi yang mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Jika pemerintah terus memangkas anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, maka kita tidak hanya kehilangan kesempatan untuk maju, tetapi juga mengorbankan generasi masa depan. Pada akhirnya, kami sebagai rakyat hanya mampu berharap bahwa apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah benar-benar membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sebab Allah Maha Baik. Namun, harapan semata tidak cukup. Sebab keadilan dan kesejahteraan tidak bisa hanya digantungkan pada doa, tetapi harus diperjuangkan dengan suara, aksi, dan pengawasan yang ketat. Sebab bangsa ini tidak akan maju jika terus memangkas harapan demi proyek-proyek sesaat yang belum tentu berdampak bagi rakyat banyak.[HF]