Hookup Culture? Jangan, Ya deeek…

  • 11 Oktober 2025
  • 08:49 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Hookup Culture? Jangan, Ya deeek…

Pagi weekend ini, seperti biasa, kulanjutkan hari dengan memanjakan beberapa peliharaan kecilku. Lalu kuikuti dengan beberes rumah sebagai ritual sederhana yang selalu kurindukan layaknya ala terapi sunyi yang kususun sendiri. TV on, bukan untuk ditonton serius, hanya sebagai pengisi hening. Kuseduh kopi perlahan, kusiapkan sarapan ringan dan seteko infused water, lalu membiarkan jemariku menyapu lantai sambil menyimak dunia dari sela-sela berita pagi. Tiba-tiba, sepenggal berita mendadak menghentikan kibasan sapuku.

“Seorang mahasiswi tewas di tangan pacarnya sendiri. Diduga karena persoalan kehamilan yang tidak diinginkan…”

Sekilas. Biasa. Tapi cukup menggetarkanku. Bukan hanya karena ini menyedihkan, tetapi karena ini terasa dekat. Bisa saja itu mahasiswa yang malam sebelumnya masih fokus duduk di pojok kamar kosnya menuntaskan laporan praktikum, sambil menimbang mimpi dan masa depan.

Di usia mahasiswa, relasi romantis sering dinormalisasi, bahkan kerap dilegitimasi sebagai bagian dari proses pendewasaan. Namun tak banyak yang menyadari bahwa ketika relasi itu melibatkan kedekatan emosional dan fisik secara berlebihan, terutama tanpa komitmen yang jelas, tubuh kita sebenarnya memberi sinyal. Sayangnya, tidak semua dari kita mengerti bahasa tubuh itu.

Dalam Islam, larangan berhubungan badan sebelum pernikahan bukan sekadar norma moral atau aturan hukum yang kaku, tetapi juga bisa didekati dari perspektif biologis. Sains justru memberi bukti bahwa tubuh manusia memiliki mekanisme alami yang mendukung nilai-nilai tersebut, terutama dalam dinamika relasi antara laki-laki dan perempuan.

Saat perempuan terlibat dalam hubungan intim, tubuhnya melepaskan hormon oksitosin, hormon yang memicu rasa percaya, kelekatan emosional, dan keterikatan mendalam terhadap pasangan (Young & Wang, 2004). Tapi rupanya, ini bukan sekadar reaksi hormonal. Ia adalah semacam lem biologis yang tak kasat mata, mampu menautkan hati bahkan sebelum logika sempat bicara. Bersamaan dengan itu, dopamin yang merupakan hormon kenikmatan ikut meningkat. Sistem reward otak aktif, dan menjadikan pengalaman itu menyenangkan secara psikologis. Akibatnya, keterikatan emosional dan ketergantungan pun terbentuk.

Sebaliknya, pada laki-laki, setelah berhubungan intim, hormon testosteron justru menurun, sementara hormon prolaktin naik. Kombinasi ini menghasilkan rasa puas secara fisik, tetapi tidak selalu dibarengi dengan keterikatan emosional (Kruger et al., 2002). Tanpa pelepasan hormon vasopresin yang konon hanya terbentuk kuat setelah proses kedekatan emosional yang cukup lama dan konsisten. Ikatan dari sisi laki-laki bisa sangat lemah atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.

Inilah yang menjelaskan mengapa hubungan tanpa komitmen formal, seperti dalam hookup culture, kerap menyisakan luka emosional, terutama bagi perempuan. Karena tubuh perempuan, dengan segala perangkat biologisnya, menuntut ikatan. Bukan sekadar kepuasan sesaat.

Dan di sinilah letak relevansi yang indah antara prinsip Islam dan temuan ilmiah. Sains membisikkan apa yang telah lama diserukan oleh agama: bahwa hubungan intim bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga tanggung jawab emosional, psikologis, dan spiritual. Aturan syariat bukan semata batasan, tapi bentuk kasih sayang Allah untuk menjaga keseimbangan jiwa dan raga manusia.

Maka ketika ketertarikan terhadap lawan jenis hadir yang memang merupakan bagian dari kodrat manusiawi dan bukti bahwa kita normal, kita dihadapkan pada pilihan menuruti gejolak sesaat, atau mengarahkan fitrah itu ke jalan yang penuh hikmah.

Alih-alih terburu-buru menjalin hubungan yang rapuh, yang kadang hanya menyita energi, menggerus fokus, dan meninggalkan luka tak perlu, mengapa tidak kita arahkan fitrah itu dalam bentuk yang lebih mulia?

Masa muda ini bisa menjadi ladang paling subur untuk memelihara rasa dalam relasi yang produktif. Taruhlah, saling menyemangati meraih beasiswa, berdiskusi tentang isu riset terbaru, beradu cepat menuntaskan laporan, menulis karya ilmiah bersama, menggagas proker kemhasiswaan atau sekadar menjadi alasan kita bangun pagi dengan semangat mengikuti kuliah.

Suka itu boleh. Tertarik itu wajar. Tapi biarkan ia tumbuh dalam ruang yang sehat. Tanpa tuntutan posesif. Tanpa keterikatan fisik yang melampaui batas. Tanpa ilusi ingin “memiliki” sebelum benar-benar siap terikat seutuhnya.

Gunakan waktu ini untuk memantaskan diri. Bukan dengan menunggu dalam kesepian, tetapi dengan menata visi, menegakkan prinsip, membangun prestasi, memperluas wawasan dan jejaring, dan memperdalam akhlak. Agar kelak, ketika cinta benar-benar datang, ia tak perlu dieja lagi. Karena ia akan datang sendiri, kepada jiwa yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Karena cinta yang paling indah bukan yang hadir pertama, tetapi yang datang di waktu yang tepat. Saat dua insan saling mengenal Allah, saling mengenal diri, dan akhirnya saling mengenal satu sama lain dalam ikatan yang diridhai-Nya. Insya Allah. [HF]