Sarjana "Parsel" dan Luka yang Tak Seharusnya Ada
Beberapa hari terakhir, jagat akademik UINAM dihebohkan oleh istilah baru yang menggelitik sekaligus menyakitkan, “sarjana parsel.” Istilah ini lahir dari tuduhan bahwa proses sidang tugas akhir telah ternodai oleh praktik pemberian konsumsi kepada dosen penguji. Sederhana kedengarannya, tetapi betapa tajam ia menusuk, menjelma sebagai stigma yang seketika meluluhlantakkan martabat dosen dan mencederai ruang akademik yang mestinya sakral.
Sebagai dosen, kita tidak bisa menutup mata. Isu ini menyakitkan, karena menyiratkan seolah-olah integritas akademik dijual murah dengan suguhan nasi padang dan kue-kue sederhana, yang entah mengapa bisa dilabeli sebagai “parsel.” Padahal kenyataannya, sejak awal tidak pernah ada kewajiban bagi mahasiswa membawa konsumsi. Tidak ada aturan, tidak ada instruksi. Bahkan pernah ada larangan keras dari prodi kami, dan proses ujian tanpa suguhan sempat berjalan, tanpa sedikitpun mempengaruhi proses dan hasil ujian. Namun budaya sosial sering lebih kuat daripada teks aturan. Diam-diam tradisi itu kembali bersemi, menyelinap masuk ke ruang-ruang sidang. Mahasiswa merasa perlu membawa sesuatu. Bukan karena dipaksa, melainkan karena ingin menghormati; ingin menyampaikan terima kasih yang mungkin tak sanggup mereka ucapkan dengan kata. Bahkan ada pula yang datang dengan wajah malu-malu, lalu berkata lirih bahwa yang mereka bawa hanyalah titipan dari orang tua di rumah, sekadar buatan sederhana, namun penuh makna.
Dan di sinilah dilema itu bermula.
Bayangkan mahasiswa yang datang dengan wajah tegang, menyodorkan naskah berikut suguhan dengan santun. Bukan untuk membeli nilai, melainkan untuk menjaga hubungan, mencipta momen yang ia anggap pantas. Menolaknya terasa biadab, seolah-olah melukai usaha yang sudah mengorbankan rupiah tak seberapa tapi bernilai besar bagi mereka. Namun menerimanya pun ternyata berisiko, karena kami ditafsirkan “menikmati dengan kegirangan.” Pada akhirnya, apapun pilihan kami, ada luka yang menganga. Niat baik untuk menghargai berubah menjadi stigma. Senyum yang kami paksakan agar mahasiswa tidak malu, kini dituduh sebagai keserakahan. Dan inilah luka yang paling perih, ketika penghargaan berubah jadi prasangka, ketika ketulusan berubah jadi tuduhan.
Kini, dengan istilah “sarjana parsel” yang beredar, luka itu semakin dalam. Mahasiswa merasa terbebani, seolah-olah harus menjamu. Dosen merasa dipermalukan, seolah-olah hanya menunggu suguhan. Semua ini terjadi di ruang abu-abu antara budaya dan persepsi. Karena itu, inilah saatnya pimpinan fakultas dan universitas mengambil sikap tegas untuk merumuskan kebijakan dan regulasi yang jelas serta mengikat. Kebijakan ini bukan hanya demi meringankan beban mahasiswa agar mereka fokus pada substansi akademik, tetapi juga untuk membebaskan dosen dari dilema panjang yang melelahkan. Dengan regulasi, kami tidak perlu lagi berpura-pura tersenyum atau merasa bersalah karena harus menerima sesuatu yang tidak pernah kami minta. Regulasi tegas juga akan menjaga integritas kami sebagai dosen, marwah akademik pun terpelihara.
Kita semua tentu ingin mahasiswa melangkah keluar dari ruang sidang dengan kepala tegak, bangga karena karya ilmiahnya, bukan dengan cemas karena prasangka sosial. Maka kepada pimpinan fakultas dan universitas, kami menitipkan harapan, semoga segera lahir regulasi yang tegas, adil, dan membebaskan. Regulasi yang menutup ruang tafsir dan stigma, sekaligus memberi kepastian bagi semua pihak. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa gelar sarjana lahir dari proses intelektual yang murni, memberi pesan kepada publik bahwa kita serius menjaga integritas: tidak ada kompromi, dan tidak ada ruang bagi stigma “sarjana parsel” untuk hidup. Insya Allah. [HF]