Lensa Biokimia dan Neuroetologi dari Sepasang Lovebird

  • 07 Agustus 2025
  • 07:47 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Lensa Biokimia dan Neuroetologi dari Sepasang Lovebird


Di sudut kecil rumah kami, kini sepasang burung mungil menari dalam ritme sunyi pagi dan senyap senja. Mereka adalah Berry dan Manggo, dinamai oleh si bungsu, sesuai warna tubuh mereka yang mengingatkan pada blueberry dan mangga. Lovebird, burung yang tak hanya memikat dengan warna dan suara, tetapi menghadirkan laku hidup yang menggugah hati. Semula, mereka memperlihatkan perilaku gelisah, liar, menolak elusan tanganku. Kini, mereka menyambut suapan jemariku dengan manja, seolah telah mengenal bahasa kasih lintas spesies. Yang paling memesona dari pengamatanku adalah mereka selalu saling mendekat, berdua, tak pernah saling jauh lebih dari sekejap. Seolah cinta adalah gravitasi satu-satunya yang membuat dunia mereka berputar.


Namun benarkah itu cinta? Apakah patukan kecil mereka hanya naluri semata, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kimiawi, lebih ilmiah di balik semua itu? Pertanyaan itu menggiringku menyusuri beberapa artikel ilmiah, mencari jejak sains di balik kelembutan tingkah mereka. Para ilmuwan memang tak menyebutnya cinta. Mereka menyebutnya ikatan sosial, bonding, atau afiliasi. Namun substansi dari keterikatan itu sangat nyata. Di otak burung, sebagaimana pada manusia, terdapat senyawa-senyawa yang menjadi perantara emosi dan kedekatan. Salah satunya adalah mesotocin, yang merupakan neuropeptida yang setara dengan oksitosin pada manusia. Molekul inilah yang menghangatkan dunia batin mereka.


Mesotocin bekerja beriringan dengan vasotocin (analog dari vasopresin pada manusia), membentuk ikatan yang kuat dan tahan lama. Ketika Berry dan Manggo saling menyentuh paruh, menyisir bulu satu sama lain, atau menyuapi pasangannya dengan lembut, senyawa ini membanjiri sistem limbik (wilayah otak yang menjadi pusat emosi dan kenangan). Maka terciptalah rasa aman, nyaman, dan keterikatan mendalam. Bukan khayalan, bukan dongeng, melainkan realitas biologis yang diam-diam bekerja.


Lihatlah bagaimana oksitosin menjalin kasih ibu pada bayinya. Maka begitu pula mesotocin membentuk kesetiaan sepasang Lovebird sepanjang hidup. Barangkali di situlah letak puisi yang paling jujur dari biologi: bahwa cinta, bukanlah ilusi, melainkan molekul yang bekerja dalam senyap, dan itu nyata adanya. Eaaaa

Saat Berry dan Manggo mulai menerima kehadiranku, tidak lagi terbang menjauh saat ku mendekat, saat itulah dopamin mulai memainkan peran. Neurotransmiter ini adalah utusan kebahagiaan, penguat segala pengalaman menyenangkan. Ketika mereka mulai mengasosiasikan kehadiranku dengan makanan, sapaan lembut, dan rasa aman, sistem dopamin mereka teraktivasi. Maka terciptalah sebuah interaksi antarspesies yang tak kalah magis.

Apakah ini cinta? Bagi ilmuwan, ini disebut pembelajaran positif. Namun bagi hati kita, ini adalah bentuk kasih yang tak mudah dijelaskan oleh kata-kata. Tubuh mereka, dan tubuh kita, memahami bahasa senyawa yang sama, yaitu bahasa kimia yang menautkan rasa dan kelekatan.


Pesona lovebird tak berhenti pada perilaku. Lebih dari itu, kicaunya pun tak kalah merdu. Meski tak sefasih burung beo dalam meniru ucapan manusia, mereka memiliki vokalisasi khas yang penuh makna berupa panggilan jarak, sinyal stres, seruan bahagia. Semua itu dikendalikan oleh pusat suara di otak seperti nucleus HVC dan RA (robust nucleus of the arcopallium). Mereka belajar, mengingat, dan menggunakan suara secara kontekstual. Maka jangan sepelekan kicauan mereka. Suara adalah alat bertahan, alat mengenal, dan alat mencinta. Suara adalah sayap emosional mereka.


Di balik kicauan dan pelukan sepasang lovebird, ada tarian kimia yang menakjubkan. Dari mesotocin yang memeluk, dopamin yang membelai, hingga pigmen dan gen yang melukis tubuh mereka. Setiap perilaku kecil dari menunduk saat didekati, hingga menanti pasangannya kembali ke tenggeran, adalah hasil kerja berjuta molekul dalam harmoni yang senyap namun menggetarkan. Dan saya yang selama ini menyaksikannya dengan takjub. Kadang menyebutnya naluri, kadang menyebutnya keajaiban. Namun kini saya tahu ia, bila dilihat cukup dekat, akan selalu membawa keindahan yang puitis. Masya Allah. [HF]