Astrologi vs Chronobiology
Dari ramalan rasi ke denting jam biologis yang tak pernah berdetik
Di bulan kelahiranku ini, saya tersadar akan satu hal yang cukup menggelitik. Ternyta, orang-orang terdekat dalam hidupku, sebut saja suamiku, putri bungsuku, Pak Sekjur yang setia mengingatkan perkara kampus, suami bestieku, sahabatku sendiri, bahkan anak sahabatku, berzodiak Virgo sepertiku. Daftarnya seakan tidak habis-habis. Fenomena ini membuatku sempat tergoda untuk percaya pada klaim astrologi, sebuah tren yang begitu akrab dengan generasi milenial sepertiku, meskipun kini mulai jarang terdengar gaungnya. Rasanya langit sedang bersekongkol, menjadikan hidupku dikelilingi para Virgo sejati. Sekilas, ini membuatku ingin tertawa sekaligus heran: apakah ini pertanda kosmik, bahwa para Virgo memang saling mencari, saling menempel, atau barangkali saling dipaksa untuk akur?
Di balik tawa kecil itu, muncul pertanyaan yang lebih serius: benarkah zodiak punya kuasa atas jalan hidup kita? Ataukah ini hanyalah kebetulan yang tampak dramatis karena kita suka mencari pola?. Semakin kurenungkan, semakin terasa bahwa jawaban itu terlalu sederhana. Langit memang luas dan penuh misteri, tetapi bukan rasi bintang yang membisikkan kecocokan itu. Justru tubuh kita sendiri yang menyimpan jam tak kasat mata (jam biologis) yang diam-diam mengatur alur hidup kita.
Di dalam diri setiap manusia, ada jam biologis yang diam-diam mengatur ritme hidup kita, kapan kita lelah, kapan kita bersemangat, bahkan kapan kita merasa lebih mudah suka dengan sesuatu. Jam ini tidak tergantung pada posisi Virgo, Gemini atau Libra di langit, tetapi pada cahaya matahari yang setia terbit setiap hari.
Sejak ribuan tahun silam, manusia menengadah ke langit, mencari tanda, mencari arah, mencari makna. Bintang-bintang dijadikan penuntun pelayaran, juga penuntun nasib. Dari sinilah lahir ramalan zodiak: narasi yang meyakinkan bahwa kepribadian dan masa depan dapat dibaca dari rasi bintang di malam kelahiran. Narasi ini indah, penuh simbol, bahkan menenteramkan sebagian orang. Namun, apakah ia kokoh di hadapan sains? Jawabannya, tidak. Beberapa penelitian psikologi kutemukan menunjukkan, bahwa apa yang terasa tepat dari ramalan zodiak hanyalah permainan bahasa, disebut efek Barnum, yang membuat pernyataan umum terdengar sangat personal. Banyak deskripsi zodiak disusun dengan kalimat yang umum dan bisa berlaku bagi hampir semua orang. Misalnya, “Anda orang yang peduli, tapi kadang ingin sendiri.” Deskripsi seperti ini terasa “pas banget” bagi siapa saja, padahal karena sifatnya luas dan ambigu.
Sebaliknya, biologi menghadirkan narasi yang berbeda: lebih sunyi, tetapi lebih nyata. Di balik tulang rusuk kita, ada jam yang tak berdetik, namun berdampak pada segalanya. Inilah ritme sirkadian, jam biologis yang memandu kapan kita merasa mengantuk, kapan tubuh siap belajar, kapan hati lebih rentan pada kesedihan sehingga mudah baper. Cahaya matahari adalah jarum jamnya, hormon melatonin adalah dentingnya, dan setiap sel di tubuh kita adalah roda gigi kecil yang bergerak selaras. Ritme inilah yang sesungguhnya menentukan bagaimana kita menjalani hari, bukan garis imajiner rasi di langit malam, kurang lebih demikian menurut Roenneberg & Merrow, (2016).
Menariknya, penelitian juga menunjukkan bahwa bulan kelahiran memang berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan. Temuan Boland dkk. (2015) melaporkn bahwa anak yang lahir di musim dingin, misalnya, memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit tertentu dibandingkan mereka yang lahir di musim panas. Namun, sekali lagi, ini bukan karena bintang Virgo, Gemini atau Libra, melainkan karena variasi paparan vitamin D, infeksi musiman, dan kondisi lingkungan. Dengan kata lain, langit memang menorehkan jejak pada kita, tetapi bukan lewat takdir rasi, melainkan lewat cahaya yang menyentuh kulit ibu kita, atau virus yang beredar di udara ketika kita dilahirkan.
Bila kita menelisik lebih dalam, jam biologis bahkan mengatur hal-hal sederhana yang sering kita anggap bagian dari kepribadian. Ada orang yang menyebut dirinya “morning person,” begitu bersemangat sejak fajar, dan ada pula yang mengaku “night owl,” baru menemukan energinya ketika malam tiba. Itu bukan soal zodiak, melainkan kronotipe, variasi genetis yang menentukan jam puncak kewaspadaan seseorang. Begitu pula fluktuasi suasana hati yang sering kita salah tafsir sebagai “typical Virgo” atau “typical Gemini.” Padahal, itu hanyalah permainan hormon, metabolisme, dan cahaya matahari yang bersiklus dengan setia.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “Apakah zodiakku cocok denganmu?” melainkan “Apakah jam biologis saya selaras denganmu?” Dalam dunia biologi, sinkronisasi itu nyata., dimana tubuh manusia memang berfungsi lebih baik bila ritmenya sejalan, baik dalam bekerja, belajar, maupun hidup berdampingan. Kecocokan yang kita rasakan dengan orang lain mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh pola tidur yang sama, gaya hidup yang serupa, atau frekuensi interaksi yang intens, bukan sekadar karena sama-sama dilahirkan di bawah bintang Virgo.
Saya percaya, sebagai biolog, kita tidak perlu menertawakan budaya populer seperti zodiak. Ia tetap punya fungsi sosial: menjadi bahasa ringan untuk mengekspresikan diri, membangun keakraban, bahkan sekadar bahan lelucon di circle kita. Namun, di saat yang sama, kita punya tanggung jawab untuk menghadirkan narasi ilmiah yang lebih indah. Biologi tidak kalah puitis dari astrologi, yang menawarkan kisah tentang cahaya yang membangunkan sel, tentang hormon yang menari mengikuti ritme, tentang tubuh yang selalu sinkron dengan alam semesta.
Pada akhirnya, kita memang anak kosmos. Tetapi tali nasib kita tidak diikat oleh garis imajiner rasi bintang, Jadi, bila esok seseorang bertanya, “Apa zodiakmu?”, jawablah dengan senyum. Lalu bisikkan bahwa zodiak sejati kita bukanlah Virgo, Leo, atau Capricorn, melainkan ritme biologis yang berdetak abadi dalam tubuh kita. Wallahu a'lam. [HF].