Qalb dan Jantung: Degup di Persimpangan Rasa dan Arah
Siang tadi saya ikut duduk dalam satu majelis sederhana—tanpa mimbar tinggi, hanya sekelompok wajah riang namun merindukan kesejukan batin. Dalam lantunan ayat dan petuah yang sangat mendalam, sang ustaz membuka pembahasan dengan kalimat yang sejak itu menggantung di benakku: “Hati adalah benda. Jika itu rusak, maka rusaklah seluruh hidupmu. Karena hatilah yang Allah pandang.”
Batinku lirih bergumam: ia tidak sedang menunjuk pada liver, organ yang tersembunyi di sisi kanan perut. Ucapannya, nadanya, bahkan gerakan tangannya yang menyentuh dada kiri, semua menunjuk pada jantung. Pada degupnya, pada getarannya, pada rasa yang menyelinap, bersarang, dan bersuara dalam senyap. Sayapu bergumam dalam hati: ia sedang berbicara tentang jantung—tentang qalb.
Qalb, dalam bahasa Arab, berasal dari akar kata qalaba yang berarti membalik, membolak-balik. Dalam Al-Qur’an, qalb bukan sekadar kata; ia adalah pusat dari pemahaman, keimanan, kekufuran, dan orientasi ruhani. Ketika Allah menyebut bahwa “mereka memiliki hati, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami” (QS. Al-A’raf: 179), maka jelas bahwa qalb bukan sekadar otot fisiologis, tetapi entitas batiniah yang menjadi pusat kendali moral dan eksistensial manusia.
Menariknya, Al-Qur’an menyebut bahwa qalb itu berada “fi ṣudūrihim”—di dalam dada mereka—tidak menyebutkannya di kepala. Maka ketika kita merasakan cemas, takut, senang, atau cinta, dan semua itu bisa berbolak balik, yang kita rasakan responnya dengan berdebar adalah jantung, bukan liver, bukan paru-paru. Jantunglah yang berdetak lebih kencang, seakan menyuarakan bisikan qalb.
Neurokardiologi modern memberikan catatan yang menarik dalam konteks ini. Penelitian mutakhir menyatakan bahwa jantung memiliki sistem saraf intrinsik sendiri, berupa sekumpulan neuron yang membentuk apa yang disebut sebagai “heart’s little brain.” Bahkan, aliran sinyal dari jantung ke otak justru lebih dominan daripada dari otak ke jantung. Ini berarti persepsi, emosi, dan intuisi banyak dipengaruhi oleh kondisi jantung. Ketika seseorang merasa tenang, ritme jantungnya juga selaras. Ketika marah, cemas, atau takut, mka jantung berdegup kencang, ototnya menegang, dan gelombangnya berubah. Maka jantung, bukan hanya sekadar pompa darah, tetapi juga pemancar rasa. Ia mendengar, bahkan sebelum kata-kata tiba.
Dari sudut pandang biologis, jantung adalah otot padat sebesar kepalan tangan, terdiri dari jaringan miokardium yang bekerja tanpa henti, siang dan malam, sejak embrio terbentuk hingga ajal menjemput. Tidak ada jeda. Tidak ada istirahat. Ia memompa darah berikut komponennya ke seluruh tubuh. Tapi lebih dari itu, ia menjadi pusat dari pengalaman batiniah manusia—yang tak mampu dijelaskan sepenuhnya oleh gelombang EKG atau rekaman detak per menit. Dan di sinilah biologi dan spiritualitas bersua di persimpangan yang menarik. Jantung bisa direkam, detaknya bisa dihitung, gelombangnya bisa dipetakan. Tapi apakah itu cukup untuk menangkap seluruh “suara qalb”?. Bukankah banyak keputusan yang kita ambil bukan berdasarkan logika otak, tetapi karena getaran yang hadir dari dalam dada?
Qalb adalah degup yang menyimpan orientasi ruhani manusia. Ia adalah tempat iman tumbuh dan keraguan mengendap. Ia bisa jernih, bisa keruh. Bisa lapang, bisa sempit. Dalam Islam, qalb bisa sakit, bisa mati, dan bisa pula hidup kembali. Maka ia bukan semata benda, tetapi tempat tinggal dari nilai-nilai yang tak tampak, mungkin berupa ikhlas, ridha, takut, cinta, sabar, dan harap.
Maka ketika kalimat sang ustaz terngiang kembali “Hati itu adalah benda”, saya menyadari bahwa ia sedang mengingatkan pada satu organ yang tak hanya hidup secara biologis, tetapi juga spiritual. Jantung sebagai benda yang berdetak, menyimpan rahasia jiwa, menghubungkan tubuh dan makna, menjadi medium antara darah dan arah. Ia adalah degup yang tak sekadar otot. Ia adalah qalb—yang jika ia rusak, maka segalanya menjadi rapuh. Namun jika ia terjaga, seluruh hidup akan menemukan arah. Wallāhu a‘lam bissawāb.[HF]