Tafsir Realitas Biologik Di Balik Jeratan Narkoba
Hasrat tidur mulai merayap perlahan, membungkus tubuh dan pikiran yang lelah. Seperti biasa, kuraih ponsel—sekadar mengecek layar sebelum memastikan mode senyap telah aktif dan menaruhnya di luar kamar untuk dicharge. Dalam detik-detik terakhir sebelum layar benar-benar padam, terlihat sebuah pop up dari aplikasi berita muncul: “Fachry Albar Kembali Ditangkap karena Narkoba.” Sekilas, berita itu tampak seperti kabar selebritas yang akan segera tenggelam di antara ratusan informasi lain yang berseliweran setiap hari. Namun, kalimat itu menggantung lama dalam benak—bukan karena siapa yang terlibat, melainkan karena apa yang tersembunyi di balik peristiwa itu: jerat adiksi yang kembali menelan korban. Sebagai pebelajar biologi, momen itu terasa seperti panggilan untuk menafsir ulang tragedi sosial ini dari sudut berbeda: apa sebenarnya yang terjadi di balik jerat narkoba, jika kita membacanya melalui lensa ilmu hayat?. Mengapa seseorang bisa terjebak, lepas, lalu kembali lagi ke lingkaran yang sama? Mengapa tekad dan hukuman tampaknya tidak cukup untuk memutus siklus ini?. Pertanyaan-pertanyaan ini memantik untuk memahami kompleksitas sistem saraf, kerja zat adiktif, dan bagaimana realitas biologis bisa menjelaskan perilaku manusia yang kerap disalahpahami sebagai sekadar kelemahan pribadi.
Dari sudut pandang neurobiologi, narkotika bekrja tidak hanya sebagai racun, tetapi sebagai manipulator sistemik terhadap mekanisme pengatur kesenangan dan motivasi dalam otak manusia. Zat-zat seperti heroin, kokain, dan amfetamin meniru dan mengacaukan kerja neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan norepinefrin—molekul-molekul kecil yang menjadi kurir pesan antar neuron. Di antaranya, dopamin adalah pemain utama dalam menciptakan rasa senang dan penguatan perilaku. Dalam kondisi normal, dopamin dilepaskan saat kita mengalami pengalaman positif: menyantap makanan lezat, mendapatkan pujian, atau merasakan cinta. Namun narkoba menciptakan ledakan dopamin yang tidak wajar, membanjiri area seperti nucleus accumbens dan menimbulkan euforia instan yang semu—kenikmatan yang membuai sekaligus merusak.
Namun otak bukanlah mesin yang pasif. Ia belajar dan beradaptasi, dan justru di sinilah letak ironi biologisnya: ketika banjir dopamin terjadi berulang kali, sistem saraf mulai mengalami neuroadaptasi. Reseptor dopamin menutup diri, sensitivitas menurun, dan kenikmatan alami tak lagi menggugah. Maka muncullah toleransi: dosis lama tak lagi cukup, tubuh menuntut lebih. Lalu dimulailah siklus adiksi—keinginan yang membesar, kepuasan yang menyusut, dan kendali diri yang perlahan-lahan runtuh.
Kerusakan tidak berhenti pada sirkuit kimia. Secara anatomis, struktur otak pecandu juga berubah. Prefrontal cortex—wilayah otak yang berperan dalam pengambilan keputusan, logika, dan pengendalian diri—mengalami penurunan fungsi. Di sisi lain, sistem limbik yang mengatur emosi dan dorongan naluriah justru menjadi hiperaktif. Dalam kondisi ini, pencetus eksternal seperti bau, gambar, atau suasana yang pernah diasosiasikan dengan pengalaman euforia akan memicu cue-induced craving—dorongan tak tertahankan untuk kembali memakai, meskipun individu tahu bahaya yang mengintai.
Tentu, paparan ini bukan untuk merasionalisasi tindakan penyalahgunaan narkoba. Sebaliknya, menjadi dasar pemahaman yang utuh: bahwa adiksi adalah kondisi yang nyata secara biologis, bisa dijelaskan, dan karena itu SANGAT bisa dicegah. Maka ketika kita mendengar kasus seperti Fachry Albar atau siapa pun yang terjerembab dalam lubang yang sama, jangan terburu menuding. Lihatlah lebih dalam, pahami lebih luas, dan jadikan pengetahuan sebagai sarana untuk membangun empati yang tercerahkan.
Akhirnya, saya mengajak seluruh mahasiswa tersayang dan pembaca yang budiman: kenalilah tubuhmu, pahamilah otakmu, dan hormatilah biologik yang menopang keberadaanmu. Jangan biarkan zat adiktif mengacak-acak desain agung—sistem yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Sang Pencipta. Ilmu adalah cahaya, dan cahaya sejati adalah yang menuntun kita menjauh dari gelapnya lorong narkoba. Insya Allah.[HF]