Tafakur Subuh: Ketika Cicak Menjadi Simbol Pergulatan Sains dan Iman
Di subuh hening ketika embun masih menggantung di ujung dedaunan, dan udara sejuk mengantarkan bisikan langit, kudengarkan untaian nasihat yang mengalir lembut dari seorang ulama pnutanku, menyampaikan sebuah sabda: cicak, si penghuni dinding, disebut dalam hadis sebagai hewan yang meniup kobaran api yang membakar Ibrahim. Ia, si kecil lincah yang sering mengendap di pojok rumah, dikategorikan sebagai fuwaisiq, makhluk yang pantas untuk disingkirkan.
Terdiam kusimak, lalu pikiranku mengembara, mengurai makna di balik perintah itu. Sebagai seorang biolog, kucoba menelaah keberadaan setiap makhluk dalam tatanan ekologi. Bukankah Allah menciptakan segala sesuatu dengan takaran yang penuh hikmah?. Apakah cicak benar-benar membawa kemudaratan, sehingga layak diburu tanpa ampun?. Ataukah ada peran tersembunyi yang selama ini luput dari pemahaman manusia?.
Alam, dalam bisikannya yang lembut, mengajarkan keseimbangan. Dalam setiap kelahiran dan kematian, dalam setiap pemangsa dan yang dimangsa, terdapat harmonisasi yang tak terputus. Cicak, meski mungil dan sering dianggap pengganggu, adalah penjaga keseimbangan dalam ekosistem rumah kita. Ia adalah predator bagi serangga-serangga kecil yang mengintai dalam gelap—nyamuk, lalat, dan kutu loncat—yang tak kasatmata membawa penyakit dalam tiap gerakannya.
Namun, alam juga menyimpan misteri yang tak selalu terlihat oleh mata telanjang. Di balik tubuh kecil cicak yang memanjat dinding dengan lincah, tersembunyi dunia mikro yang tak kalah rumitnya. Mikroorganisme bersembunyi dalam sisiknya, bersembunyi dalam langkah-langkahnya yang sunyi. Bakteri Salmonella dan Escherichia coli, yang dikenal sebagai patogen bagi manusia, mungkin saja menumpang pada cakar kecilnya, mengintai celah untuk berpindah ke makanan yang kita santap tanpa curiga. Bagaimana mekanismenya? Di tingkat molekuler, patogen ini menggunakan senjata yang cerdik. Mereka memiliki protein adhesin, seperti fimbriae dan outer membrane proteins, yang memungkinkan mereka melekat erat pada permukaan tubuh cicak. Dalam kelembapan rumah, mereka membentuk biofilm, perisai pelindung yang membuat mereka tahan terhadap perubahan lingkungan. Jika cicak berjalan di atas piring atau gelas yang kita gunakan, ada kemungkinan mikroorganisme ini berpindah, lalu dengan mudah masuk ke dalam tubuh kita.
Namun, seberapa besar ancaman itu dibandingkan dengan manfaat ekologisnya? Jika kita membunuh semua cicak, siapa yang akan menekan populasi nyamuk yang membawa virus demam berdarah?. Jika rumah kehilangan si pemburu serangga ini, akankah kita menghadapi lebih banyak bahaya dari vektor yang lebih mematikan?. Maka, di sinilah kebijaksanaan diuji. Jika populasi cicak terlalu banyak dan mulai mengganggu keseharian, pengendalian yang bijak adalah langkah yang lebih tepat dibandingkan pemusnahan membabi buta. Rumah yang bersih, tidak lembap, dan bebas dari sisa makanan akan mengurangi daya tarik bagi serangga, yang pada akhirnya juga mengurangi kehadiran cicak. Pengusiran bisa dilakukan tanpa perlu menumpahkan darah, menggunakan aroma yang tak disukainya—bawang putih, kulit telur, atau minyak esensial tertentu yang telah banyak dilaporkan efektif mengendalikan populasinya.
Allah telah menetapkan keseimbangan bagi setiap ciptaan-Nya. Islam bukan agama yang mengajarkan pemusnahan tanpa alasan, melainkan menuntun manusia memahami hikmah di balik keberadaan sesuatu. Prinsip la dharara wa la dhirar mengajarkan bahwa kita tak boleh menimbulkan bahaya, tetapi juga tak boleh menghilangkan sesuatu tanpa sebab yang sahih.
Tausiah yang kudengar pagi tadi bukan sekadar tentang cicak, lebih sebagai renungan tentang hubungan antara agama dan sains, tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa menerangi makna di balik perintah, dan bagaimana wahyu bisa memberi arah bagi akal yang terus bertanya. Keseimbangan, sebagaimana diajarkan oleh alam, juga harus ada dalam cara kita berpikir dan bertindak. Sains dan iman, dua sayap yang tak seharusnya bertentangan, tetapi harus mengepak bersama dalam penerbangan menuju kebenaran. Wallahu A'lam. [HF]