Tuhan, Fitrah dan Signal : Analogi Hubungan Hamba dan Khalik

  • 04 Januari 2024
  • 02:11 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Tuhan, Fitrah dan Signal : Analogi Hubungan Hamba dan Khalik

Oleh : Dirhamzah


Fitrah (?)

Semua manusia diciptakan sesuai dengan fitrah-Nya. Manusia diperintahkan untuk menghadapkan 'wajahnya' pada fitrah itu. (QS. al-Rum/30:30) Apa itu fitrah? Merujuk pada beberapa referensi, kata fitrah bisa bermakna; suci-bersih, makan (dari kata futur). Kedua makna ini bisa ditemukan pada, misalnya dalam kata 'zakat fitrah' atau ungkapan selamat 'idul fitri'.

 Ungkapan selamat idul fitri adalah ungkapan yang dapat bermakna selamat atas kembalinya seseorang menjadi suci-bersih setelah melalui rangkaian ritual ibadah yang dijalankan pada bulan suci ramadhan. Bisa juga bermakna 'kembali makan' setelah sebulan berpuasa. Demikian pada kata 'zakat fitrah', syariat ini mensyaratkan pengeluaran berupa makan pokok dari seseorang hamba tanpa terkecuali yang bermakna sebagai bentuk pemberian yang bertujuan untuk penyucian raga seseorang. 

Makna fitrah yang berarti suci tersebut juga diperkuat oleh sebuah hadis yang menyebutkan bahwa semua anak bayi yang baru lahir itu dalam keadaan fitrah, suci bersih bagaikan kertas putih tanpa noda karena belum pernah melakukan dosa dan kesalahan. (Kullu mauludin Yu ladu ala al-fitrah...).

Selain kedua makna tersebut, fitrah juga bisa bermakna "potensi". Potensi apa? Yaitu potensi untuk " bertuhan". Jadi semua orang yang terlahir dari rahim seorang ibu terlepas atas apa pun agamanya pasti semua memiliki potensi yang sama untuk bertuhan. Karena "fitrah bertuhan" itu inheren dan melekat dalam dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Itu artinya semua orang pada dasarnya memiliki fitrah itu, sekalipun orang tersebut mengklaim dirinya ateis. 

Buktinya, orang-orang yang mengaku ateis saja jika dalam keadaan terdesak, atau kaget, kadangkala tanpa mereka sadari secara spontan menyebut "Oh My God/Ya Tuhan". Itu artinya di alam bawah sadarnya, Ia sebenarnya mengakui eksistensi Tuhan, meski lisannya mengatakan tidak. Itulah mengapa fitrah yang paling esensial itu dimaknai sebagai potensi untuk bertuhan. 

Bahkan dalam pandangan Islam, bahwa semua manusia yang lahir di muka bumi ini, sejak di alam ruh semuanya telah berikrar kepada Zat pencipta. "Alastu birabbikum, qalu bala syahidna.” Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. (Surat al A'raf, 172). Itu artinya jauh sebelum manusia menapakkan kakinya ke bumi, mereka sudah mengaku bertuhan.

Jika demikian, lantas mengapa terjadi perbedaan pada setiap orang, ada yang beriman (percaya) dan ada yang ingkar (kafir)?. Ada yang begitu "dekat" sementara yang lain sangat berjarak dengan Tuhan?

Berdasar pada hadis Nabi "Kullu mauludin Yuu ladu alal fitrah, Faabewahu, Au Yuhawwidanihi Au Yunassiranihi Au Yumajjisanihi" HR. Muslim. (Tiap-tiap anak yang baru dilahirkan dalam keadaan fitrah, Maka ayahnyalah (lingkungannyalah) yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi). Merujuk pada hadis ini, maka potensi bertuhan (menuju al-fitrah) yang terdapat dalam diri setiap manusia itu berkembang dengan baik atau tidak, ke arah yang benar (taqwa) atau salah (fujur), itu sangat ditentukan oleh lingkungannya.

Selain makna-makna tersebut -dengan merujuk pada hadis yang sama disebutkan sebelumnya- ada juga yang memaknai "fitrah" tidak lain adalah berislam. Argumentasinya adalah bahwa pada hadis tersebut hanya disebutkan tiga macam agama di dalamnya tanpa menyebutkan agama Islam sebagai bagian dari pilihan yang ada diantara Yahudi, Nasrani dan Majusi. 

Mengapa Islam tidak disebutkan? Itu karena kata fitrah yang dimaksud pada hadis tersebut tak lain adalah berislam. Jadi dalam pandangan ini, mengatakan bahwa pada dasarnya semua orang sejak awal kelahirannya telah berislam, hanya saja karena "ayah" atau lingkunganlah yang membuat pada akhirnya keluar dari Islam dan menjadi pemeluk agama selain Islam ataupun tidak beragama sama sekali. Argumentasi ini sejalan dengan pandangan bahwa pada prinsipnya semua nabi dan rasul yang diutus oleh Tuhan adalah "beragama Islam". 

Nabi Muhammad sebagai khataman al-Anbiya hanyalah penyempurna atas ajaran yang dibawah oleh para Nabi-Rasul utusan Allah sebelumnya. Atau dengan kata lain, diutusnya para Nabi dan Rasul ke bumi tidak lain untuk terus mengingatkan kepada umatnya untuk tetap berpegang teguh pada fitrah itu dan mengajak bagi mereka yang telah melenceng keluar dari rel agar kembali ke jalan yang benar menuju fitrah. Yang pada akhirnya hal tersebut dapat mengantarkan manusia kembali ke kampung halaman nenek moyangnya di surga.

Jadi, fitrah baik bermakna suci, bersih, potensi bertuhan dan berislam pada dasarnya adalah sesuatu yang inheren dan melekat pada semua orang tanpa terkecuali. Fitrah itulah yang menjadi modal yang sama bagi semua manusia yang bisa menjadi titik berangkat sekaligus titik temu antara makhluk dan Khalik. Itulah mengapa Tuhan perintahkan kepada semua manusia untuk tetap konsisten pada fitrah itu. Karena itulah jalan yang lurus. Itulah agama yang benar (hak).

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar-Rum : 30)


Tuhan Sebagai Sumber Fitrah

Tuhan sebagai sumber fitrah. Lantas bagaimana cara mendekati sumber fitrah itu? Harus diketahui bahwa Tuhan itu al-Quddus (Maha suci). Al-Quddus adalah salah satu diantara 99 nama-nama baik Tuhan (Asmaul Husna). Para hamba sering memuji keMahaSucian Tuhan itu dengan untaian kalimat tasbih (Subehanallah). Tidak hanya manusia, tetapi semua makhluk bertasbih memuji Allah, tentu dengan caranya masing-masing (QS. Al-Isra/17 : 44).

Di dalam Al-Quran setidaknya terdapat tujuh surah yang diawali dengan kalimat tasbih dengan ragam bentuk derivasinya; Subehallah, Yusabbihu, Sabbaha, dan sebagainya. Surah-surah tersebut di antaranya; Al-Isra, Al-A'la, al-Hadid, al-Hasyar, al-Shaf, al-Jumuah dan al-Thagabun. Kesemua ayat tersebut menyebut dan menjelaskan tentang keMahaSucian Tuhan. Hal tersebut menegaskan bahwa Tuhan itu benar-benar suci di atas segala-galanya.

Karena keMahaSucian Allah itu pulalah yang mengharuskan kekasih-Nya, Muhammad Saw. -sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan- bahwa sebelum bertemu (langsung) dengan Tuhan sebagaimana yang terekam dalam rangkaian peristiwa Isra Mi'raj mensyaratkan dadanya harus dibelah terlebih dahulu, lalu hatinya "dicuci" dengan air sam-sam, air yang paling suci-bersih.

Mengapa? Bukankah Muhammad itu adalah nabi yang ma'sum (terpelihara dan terbebas dari noda dan dosa)? Mengapa hati Nabi harus dicuci terlebih dahulu? Jawabnya sederhana, karena yang hendak Ia temui adalah Sang Maha Suci. Pemilik segala kesucian. Zat yang tidak bisa didekati dengan jarak yang paling terdekat (paling intim) terkecuali dengan modal kesucian yang berkualitas tertinggi.

Atas dasar keMahaSucian Tuhan itulah. Dia ideal dan sepantasnya didekati oleh hamba dengan, atau melalui pintu kesucian pula. Pintu kesucian yang dimaksud meliputi kesucian lahir dan batin. Sebenarnya, Tuhan tetap bisa didekati kapan dan oleh siapapun dan dengan cara apa pun. Akan tetapi, jarak kedekatan itu akan sangat ditentukan oleh tingkat 'kesucian' seseorang.

Semakin suci (bersih lahir batin) seorang hamba, maka ia akan semakin berpotensi semakin "dekat" atau tak "berjarak" dengan Tuhan. Demikian sebaliknya, semakin "kotor" seseorang maka akan semakin membuatnya berjarak dengan Tuhan.

Begitu pentingnya persoalan kesucian ini. Itulah sebab dalam ajaran Islam jika seorang hamba ingin berhubungan "intim" atau "bertemu" dengan Tuhan, seperti melalui media ibadah mahdah (shalat, tawaf, dsb) dipersyaratkan atasnya untuk bersuci terlebih dahulu. Tidak sah pertemuan tersebut tanpa diawali dengan bersuci terlebih dahulu. Hamba yang bernajis terlebih dahulu harus membersihkan diri, hamba yang sedang berhadas kecil, harus berwudhu atau tayammum terlebih dahulu. Begitupun yang sedang berhadas besar harus mandi wajib terlebih dahulu. Berwudhu, tayammum ataupun mandi wajib adalah bentuk-bentuk penyucian lahiriah (hardware).

Di samping penyucian raga atau lahiriah sebagai bentuk penyucian yang paling mendasar, yang lebih penting dari itu adalah dibarengi dengan penyucian jiwa dan hati. Atau disebut penyucian batiniah. Penyucian batiniah ini bisa meliputi pembersihan hati dan pikiran. Hati dibersihkan dari segala sikap dan sifat buruk dan dari segala penyakit hati, seperti: ujub, takabur, iri hati (dengki), prasangka buruk, dendam, ingkar, dusta, dan sebagainya, begitupun membersihkan pikiran dari segala pikiran negatif (negatif thinking). Sasaran penyucian ini bisa diumpamakan bagian software.

Semakin bersih keduanya (lahir-batin/hardware-software) seorang hamba akan membuatnya semakin mudah dekat dan 'tak berjarak' dengan Tuhan, bahkan mungkin pada beberapa orang dapat melihat tabir rahasia yang oleh kebanyakan manusia tak mampu melihatnya. Mengapa? Karena kesucian yang ia miliki, ia diberi keistimewaan oleh Tuhan untuk menyingkap tabir-tabir dimensi lain. Kita tentu sering mendengar istilah mata batin atau mata hati. Yaitu mata yang mampu menembus dimensi-dimensi lain yang tak bisa dilihat oleh mata lahiriah alias mata kepala.


Seperti Analogi Signal dan HP

Tuhan yang maha suci itu tentu ideal dan sepantasnya "didekati" dengan modal kesucian. Semakin suci lahir batin seorang hamba maka akan semakin "tak berjarak" dengan Tuhan, itulah sebabnya doa-doa dan permintaan hamba-hamba Tuhan yang demikian langsung diijabah alias dikabulkan oleh Tuhan. Tentu kita pernah mendengar kisah para Nabi yang doa-doa dan permintaannya dibayar cash langsung Tuhan. 

Demikian terhadap kisah orang suci seperti Maryam atau kisah-kisah para wali-wali Allah yang doa-doanya langsung diijabah. Atau berkat kedekatan mereka dengan Tuhan tanpa mereka bekerja dengan bersusah payah pun tiba-tiba tersedia hidangan makan dan minuman untuknya entah dari mana datangnya. Setiap kesulitan yang dihadapi selalu diberi jalan keluar. Bahkan ada yang tanpa bersusah payah belajar, Ia diberi ilmu oleh Tuhan, namanya ilmu laduni. Ada juga orang-orang yang diberi kemampuan untuk dapat menyembuhkan penyakit-penyakit dan lain sebagainya.

Peristiwa-peristiwa semacam ini telah banyak kita dengar, baca dan saksikan. Lantas mengapa itu semua bisa terjadi? Benang merahnya adalah mereka semua adalah orang-orang pilihan yang senantiasa selalu menjaga kesucian lahir batinnya sehingga "sangat dekat" dengan Tuhan. Coba saja perhatikan, orang-orang yang diberi karomah dan kemampuan tertentu yang bisa memberi manfaat pada orang lain adalah mereka yang mampu merawat hatinya untuk senantiasa dalam keadaan suci bersih.

Demikian sebaliknya, terhadap orang-orang yang senantiasa tak menjaga kesucian lahir batinnya, doa-doa dan permohonannya seringkali tertunda dengan waktu yang sangat lama, karena doa-doanya mungkin terhalang oleh begitu banyak macam dosa dan maksiat. Ada memang sebagian orang-orang yang tak menjaga kesucian lahir batinnya (dalam artian jauh dari Tuhan, karena tak menjalankan ibadah) akan tetapi kehidupan keduniaannya mulus-mulus saja. Tetapi hati-hati sebabt itu namanya istidraj-.

Itulah sebabnya, dalam melihat hubungan kedekatan hamba dengan Khalik, saya menganalogikannya seperti signal dan handphone atau dengan perangkat komputer lainnya.

Bagaimana jika kita menggunakan HP atau laptop dengan mengakses sesuatu sementara HP/laptop tersebut penuh dengan virus atau telah terisi penuh dengan file-file yang tak berguna, itupun laptop yang kita gunakan dengan spesifikasi standar. Apa yang terjadi? Akan terjadi loading yang sangat lama. Mengapa lama? Laptop tersebut penuh dengan virus, penuh dengan data-data yang tak penting dan tak bermanfaat. 

Anggaplah data-data yang memenuhi perangkat tersebut adalah kepala, hati dan raga yang dipenuhi dengan kesibukan dunia semata. Virus-virus dan segala kesibukan keduniaan itu akan mempengaruhi tingkat kekhusyuan seseorang yang pada akhirnya juga berpengaruh pada cepat atau lambatnya terjadinya konektivitas.

Demikian ibaratnya ketika seseorang yang penuh dosa dan noda ketika memohon sesuatu kepada Tuhan dengan harapan dengan cepat terkabulkan. Pertanyaannya apakah bisa langsung terijabah sementara terkoneksi saja sulit? Memang pada akhirnya akan terkabulkan, tetapi tentu harus berjibaku terlebih dahulu dengan layer-layer penghalang berupa virus untuk sampai ke Tuhan. Tentu berbeda dengan orang-orang yang menggunakan perangkat yang tak bervirus akan lebih muda terkoneksi dengan jaringan. Dan seperti inilah yang terjadi pada nabi-nabi Allah, wali-wali Allah dan orang-orang suci yang senantiasa menjaga kesuciaannya.

Demikian terhadap analogi signal dan HP. Signal itu telah ada dalam diri kita, hanya saja frekuensi dan kekuatannya yang berbeda. Orang-orang yang memiliki kesucian lahir batin akan memiliki kekuatan signal yang lebih kuat karena terhindar dari virus sehingga dengan mudahnya terkoneksi dengan Tuhan. Pada sisi lain, ada orang yang signalnya muncul tenggelam, sehingga koneksinya dengan Tuhan juga terputus-terputus. 

Ini seperti ibaratnya seseorang yang imannya keluar-masuk atau bertambah-berkurang. Sementara, ada orang-orang yang sehari-harinya dipenuhi dengan maksiat setiap hari tanpa melakukan proses penyucian batin (taubat dan istigfar) akan benar-benar memutuskan koneksinnya dengan Tuhan. Kenapa? Karena signalnya tertutupi dan tertimbun oleh virus noda dan dosa.

Mengutip Imam al-Gazali bahwa dosa yang dilakukan oleh seorang manusia itu ibaratnya tinta hitam yang selalu menetes menutupi hati setiap kali melakukan perbuatan dosa. Bayangkan, kalau seseorang yang pekerjaannya setiap hari berbuat dosa saja tanpa melakukan kebaikan dan taubat, maka orang seperti ini pada akhirnya hatinya akan tertutupi oleh noda-noda. Dan bagi yang demikian, akan sulit baginya untuk kembali. Inilah yang dimaksud oleh alquran surah Al-Baqarah 6-7 sebagai orang² kafir yang terkunci hatinya. 

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat".

Orang-orang yang seperti inilah akan sulit terkoneksi kembali dengan Tuhan karena signalnya telah hilang atau jaringan yang bisa menghubungkanya dengan Tuhan telah ia putus. Pada intinya, semua orang telah dibekali signal dari Tuhan sejak dari awal kelahirannya, bahkan jauh sejak masih di alam ruh. Dalam tulisan ini signal itulah yang dimaksudkan sebagai fitrah.

Yang membedakan kekuatan signal itu: apakah akan terus menguat, stagnan dan atau semakin melemah dan pada akhirnya hilang adalah lingkungan pasca kelahiran manusia dan cara manusia itu sendiri dalam merawatnya semasa hidupnya. Jika terus diupayakan untuk terus terkoneksi dengan Tuhan, maka signalnya akan semakin menguat dan konsekuensinya adalah komunikasi dengan Tuhan akan semakin lancer bahkan bisa menjadi semakin "intim". Sementara sebaliknya jika signal itu terus dinodai, dikubur atau ditutupi oleh timbunan dosa-dosa maka signal tersebut akan semakin redup dan pada akhirnya hilang.

Beruntung bagi kita umat Islam, Tuhan tahu kita adalah hamba-Nya yang tidak luput dari khilaf dan salah. Oleh karenanya, Tuhan senantiasa memberi kepada kita berbagai instrumen yang bisa kita manfaatkan untuk kita jadikan sebagai alat membersihkan diri dan terus merawat agar signal yang telah tertanam pada diri kita semakin menguat. Salah satu tanda signal itu menguat ialah ketika disebut nama Allah hati bergetar. 

“Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka”. (QS. Al-Anfal:2).


Dan hati-hati jika yang terjadi adalah sebaliknya hati tak lagi bergetar, boleh jadi itu pertanda signal sudah meredup atau mungkin sudah menghilang sama sekali.

Wallahu A'lam Bishawab