Rahim Ibu, Universitas Pertama Kita
Dalam senyap yang paling purba, di sebuah palung suci bernama rahim, kita pernah menjadi sezarah amanah yang berdenyut, yang paling dijaga. Sembilan bulan lamanya, kita ditenun dalam kegelapan yang tidak menakutkan, sebab di sana hanya ada hangat dan detak jantung yang menjadi melodi pendengaran kita. Rahim bak universitas pertama, tempat di mana kurikulum kasih sayang diajarkan tanpa selembar kertas pun.
Lihatlah bagaimana tubuh seorang ibu menjadi medan tempur sekaligus tempat ibadah. Di sana, keajaiban bukan lagi sekadar khayal. Dari pertemuan sel yang nyaris tak kasat mata, hingga jalinan saraf yang merangkai kesadaran, semuanya dibayar dengan darah, sisa-sisa tenaga, dan raga yang merapuh. Ibu rela kehilangan bentuk dirinya, merelakan jam tidurnya dicuri kecemasan, bahkan seringkali kehilangan "aku" demi memastikan sebuah "kita" tetap bernapas.
Secara epigenetik, kita adalah rekaman dari jiwanya. Setiap sari makanan yang ibu telan, setiap nada yang ia dengar, bahkan setiap getir sedih dan renyah tawa yang ia hadirkan, terukir dalam ekspresi genetik kita. Ibu adalah dosen abadi yang mengajar tanpa jeda, menanamkan kuliah tentang ketabahan dan cinta ke dalam sel-sel kita, jauh sebelum kita mengenal abjad.
Ketahuilah, mikroskop di laboratorium kita memiliki batas, sementara cinta ibu melampaui cakrawala. Biologi mungkin bisa menjelaskan aliran hormon, namun ia gagap menjelaskan bagaimana doa ibu yang dilangitkan dalam sujud sepertiga malam mampu menembus takdir. Lensa laboratorium takkan sanggup menangkap molekul air mata yang jatuh dalam diam saat kita gagal, atau bagaimana dekapannya mampu menenangkan badai saraf lebih cepat daripada obat penenang paling mutakhir manapun. Inilah wilayah spiritual, di mana logika menyerah pada rasa.
QS. Al-Ahqaf ayat 15 telah mengabadikan keletihannya: "Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)..." Ayat ini bukan sekadar kalimat, melainkan monumen abadi atas pengorbanan yang tak terukur. Bagi kalian, para pejuang ilmu di Biologi UINAM, kalianlah yang seharusnya paling bersujud pada kenyataan ini. Di saat kalian membedah struktur kehidupan, sadarilah bahwa di depan kalian ada sistem yang paling canggih, paling presisi, dan paling ilahiah, yaitu seorang Ibu, yang bukan sekadar raga, melainkan sebuah semesta yang dibangun dari aliran hormon keberanian, air mata keikhlasan, dan fondasi keteguhan sepejal baja.
Peringatan hari ibu ini, mari kita sejenak heningkan jiwa. Bayangkan detak jantung yang dulu menjadi musik pengantar tidur kita di dalam sana. Ia tak pernah mengirimkan tagihan atas nafas yang kita pinjam, tak pernah menghitung berapa liter darah yang ia berikan. Jika hari ini kita bisa tegak berdiri, meneliti, dan bermimpi, itu karena ada ada seseorang yang rela tak tidur demi memastikan kita bisa hidup.
Terima kasih, Ibu. Engkaulah Biologi yang paling hidup, dan cinta yang paling nyata. Masya Allah.[HF]

