Menyulam Kebijaksanaan Alam dari Gemuruh Sholawat
Meski ragaku berada jauh dari Masjid Sultan Alauddin karena suatu tugas, jiwa ini tak rela absen; setiba di rumah, kunyalakan live streaming Bincang Syariah Goes to Campus: Mawlid for Earth di YouTube, membiarkan gema sholawat dan harum eco-wisdom meresap hingga ke tiap sel raga. Woww... Masya Allah, sekitar 7.000 peserta hadir melangitkan shalawat, doa dan harapan. Performa Habib Jafar memanggil hati kita untuk mengenang Nabiyullah saw, teladan kesederhanaan, kasih, dan kepedulian terhadap sesama makhluk. Di balik gema sholawat itu, ada bisikan alam yang ikut merindu, daun yang berguguran, rumput yang haus hujan, badan-badan air yang menunggu tangan-tangan kita untuk merawat kebersihannya.
Kementerian Agama telah menetapkan ekoteologi sebagai program prioritas lewat KMA No. 244 Tahun 2025, sebagai jalan untuk menyatu¬kan iman dan tanggung jawab lingkungan. Kemenag mendorong pendidikan agama berwawasan lingkungan, pembinaan tokoh agama, rumah ibadah ramah lingkungan, dan dialog lintas iman agar menjaga alam bukan sekadar pelengkap ibadah, melainkan bagian tak terpisahkan dari ibadah itu sendiri.
Sebagai biolog, saya memperhatikan bahwa dunia ini rapuh, tetapi juga luar biasa indah. Mikroba tanah menjalani siklus hidupnya diam-diam, menjaga struktur dan kesuburan tanah, flora lokal yang mungkin tak banyak dilihat orang tetap menyimpan potensi genetik kuat menghadapi cuaca ekstrem, fauna kecil bergantung pada habitat yang kadang kita anggap remeh. Bila satu bagian saja dari ekosistem lokal luka, misalnya karena vegetasi ditebang, badan air tercemar, vegetasi riparian rusak, maka efeknya sering tak terlihat langsung, namun merambat seperti aliran racun dalam tubuh bumi kita.
Menanam pohon bukan sekadar menanam hijau, tetapi menanam harapan agar udara tersaring, tanah tidak terkikis, akar tanaman pangan kita bisa meresap nutrisi, habitat serangga penyerbuk terjaga. Menjaga sungai bukan hanya soal pamrih estetika, tetapi mencegah mikroorganisme patogen dan polutan meracuni air, yang mungkin kita minum, kita pakai, atau menjadi habitat organisme laut yang nyawa manusia juga tergantung padanya.
Dengan kehadiran akbar dari mahasiswa, civitas akademika, dan tokoh agama, pada perayaan Maulid di UINAM ini, menjadi momentum bagi manifestasi konkret dari konsep "ketercerahan dan kebijaksanaan" yang disampaikan oleh Rektor UINAM. Ketercerahan tidak berhenti pada hafalan atau dengar ceramah saja, tetapi menuntut tindakan. Sedangkan kebijaksanaan tidak hanya berbicara tentang alam, tetapi merawatnya dengan tangan nyata. Maka dari acara perayaan serupa ke depan, kita bisa menoreh aksi nyata: dekorasi memakai bahan lokal dan ramah lingkungan; meminimalisasi plastik sekali pakai agar udara, tanah, air kita tidak dibebani sampah; workshop mini tentang mikrobioma tanah kampus atau polusi air, agar kita sadar bahwa tanah dan air kita pun punya mikroorganisme hidup yang vital, yang jika terganggu, rantai kehidupan dan kesehatan kita ikut terganggu; aksi penghijauan yang melibatkan seluruh civitas, agar hijau bukan hanya terlihat, tapi dirasakan: naungan, udara segar, akar yang menahan tanah agar tidak terkikis, habitat bagi serangga, burung, mikroba.
Begitulah seharusnya, melalui Mawlid for Earth itu, kita menyulam cahaya iman dengan kesadaran ilmiah. Ketercerahan memberi kita peta; kebijaksanaan membimbing langkah. Kita menjadi umat yang bukan hanya tercerahkan secara spiritual, tetapi bijaksana secara ekologis, yang menyadari bahwa merawat ciptaan adalah bagian dari ibadah, bagian dari identitas kita sebagai khalifah.
Di tengah keelokan salawat yang saya pantau dari layar, saya hanya ikut menanam doa dan janji: "Ya Rabb, jadikan kami umat yang bukan hanya pandai menyebut nama-Mu, tetapi juga pandai menjaga ciptaan-Mu. Yang merawat air, bukan membiarkannya keruh. Yang menanam pohon, bukan merobohkannya. Yang memperlakukan bumi ini bukan sebagai sumber sekadar untuk dikonsumsi, tapi sebagai saksi bisu dari keimanan kami.”
Kesalehan lingkungan sebenanrnya bukanlah ide abstrak, lebih sbagai napas iman yang berpijak pada tanah. Bila Kemenag telah meletakkan ekoteologi dalam KMA 244 sebagai prioritas, dan Maulid di UIN Alauddin mengangkat eco wisdom di hadapan ribuan jiwa, mari pastikan gema itu bukan hanya melepas bisikan di panggung, tetapi menyatu dalam langkah nyata kita. Tangan yang menanam, kaki yang berjalan memulihkan, dan hati yang menjaga.
Sebagai bagian dari komunitas kampus dan masyarakat, saya berharap dari gema sholawat dan dialog eco-wisdom ini tumbuh generasi yang tidak hanya tercerahkan pikirannya, tetapi juga dipenuhi keberanian dan kepedulian: yang menanam, yang melindungi, yang memulihkan. Karena menjaga alam adalah menjaga diri, menjaga iman, menjaga masa depan yang kita titipkan pada generasi yang akan datang. Insya Allah. [HF]