Tolong, Hentikan Dosa Ekologis!
Di penghujung November 2025, Sumatra kembali terpuruk dalam luka yang dalam. Ribuan warga terjebak di antara puing-puing rumah, lumpur, dan bayang-bayang ancaman yang terus mengintai hingga hari ini. Komunikasi terputus, jalan-jalan utama amblas, dan banyak desa terisolasi dari dunia luar. Bantuan datang terlambat, terseok melawan medan yang rusak dan logistik yang tersumbat. Tragedi ini tidak datang tiba-tiba. Tapi lahir dari kealpaan panjang, dan sebagai seorang biolog, tak rela rasanya membiarkannya berlalu hanya sebagai berita satu pekan, lalu dilupakan.
Sebagian pihak mungkin akan menunjuk anomali cuaca sebagai penyebab utama. Memang, pembentukan Siklon Tropis di Samudra Hindia pada akhir November telah menyebabkan peningkatan curah hujan yang sangat ekstrem di pesisir barat Sumatra. Hujan turun terus-menerus, melampaui ambang normal dalam intensitas maupun durasi. Namun perlu ditegaskan: anomali iklim ini hanyalah pemicu, bukan akar persoalan.
Sumber masalah sesungguhnya telah lama bersemayam dalam diam dalam bentuk hilangnya tutupan hutan, rusaknya lereng-lereng perbukitan, terganggunya jalur air alami, serta hancurnya keteraturan ekologis yang selama ini menopang keseimbangan antara manusia dan alam.
Jika sistem lingkungan kita masih dalam kondisi sehat, maka hujan deras sekalipun tak serta-merta menimbulkan bencana. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutan telah terbuka luas tanpa kendali; tanah kehilangan vegetasi penahannya; sungai kehilangan resapan alaminya. Maka ketika langit mengguyur lebih deras dari biasanya, bumi pun tidak lagi memiliki daya tahan untuk menampungnya. Kerusakan ini telah jauh-jauh hari diingatkan dalam Al-Qur’an:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menjadi cermin terang bagi kita hari ini. Bencana yang menimpa bukan sekadar ujian alam, melainkan peringatan keras atas ketidakseimbangan yang kita ciptakan sendiri. Ini bukan kehendak langit yang turun tanpa sebab, melainkan buah dari keserakahan dan kelalaian kita terhadap amanah bumi.
Lalu siapa yang bertanggung jawab?. Sebagai akademisi, saya tidak lagi melihat bencana ini sebagai fenomena alamiah. Lebih sebagai buah dari serangkaian keputusan yang mengabaikan ilmu, melupakan kearifan lokal, dan mengesampingkan suara masyarakat sipil. Kebijakan yang berlaku selama ini terlalu sering memperlakukan hutan seolah beban yang menghalangi investasi, bukan sebagai kekayaan ekologis yang menopang keberlanjutan. Alam diperlakukan semata sebagai komoditas yang bisa dihitung nilainya di pasar, bukan sebagai sistem kehidupan yang menjaga keseimbangan dan keselamatan kita bersama.
Kepada para pembuat kebijakan, ini bukan saatnya untuk defensif. Ini saatnya untuk bertindak. Jangan lagi berdiri di balik statistik dan narasi prosedural. Lihatlah wajah-wajah yang terdampak. Dengarkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Tolong hentikan dosa ekologis ini, segera dilakukan tanpa negosiasi lagi,
1. Moratorium total terhadap pembukaan lahan di hulu DAS dan kawasan konservasi.
2. Audit dan pencabutan izin-izin yang terbukti menyebabkan degradasi ekologis.
3. Restorasi berbasis lanskap, bukan proyek tambal sulam atau penghijauan simbolik.
Bencana ini bukan yang pertama, dan tidak akan menjadi yang terakhir jika tidak ada perubahan arah. Ilmu pengetahuan telah memberikan peringatan berulang kali. Kini saatnya peringatan itu dijawab dengan keberanian. Karena jika kita gagal menjawabnya, maka kita tengah mewariskan kehancuran yang disengaja kepada generasi mendatang.
Tolong, hentikan dosa ekologis ini sekarang. Sebelum air kembali menenggelamkan rumah-rumah yang belum sempat dibangun kembali. Sebelum hutan-hutan terakhir berubah menjadi abu dan angka. Dan sebelum anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang tak lagi bisa mereka sebut sebagai alam. Na‘udzubillāhi min dzālik. [HF]

