Stigma Air Bor: Di Kedalaman, Ia Lebih Jernih dari Prasangka
Entah karena penat atau hanya sekadar melawan jenuh, jemariku menyusuri layar ponsel. Tak ada niat mencari, hanya ingin tenggelam sejenak dalam arus tak berujung yang bernama reels. Kembali muncul tayangan serupa yang berhenti di layar ponselku, video berdurasi kurang dari semenit, memperlihatkan sosok seorang pemimpin bersarung yang sangat familiar, KDM. Kali ini bukan sedang menyapa emak-emak pasar atau mengelus kepala anak kecil. Ia sedang menyusuri pabrik air minum dalam kemasan, menatap tajam ke lubang pipa, dan berkata, “Katanya ini air dari pegunungan, tapi kok malah diambil dari bor?.” Ia bicara pelan, namun suaranya menghujam. Tidak ada amarah berapi-api. Yang ada justru keraguan yang dilemparkan secara halus, namun cukup untuk menyalakan keributan besar di kepala banyak orang.
Di kolom komentar, warganet pun pecah. “Wah, ini mah akal-akalan a*ua!” seru seorang akun. Yang lainnya menuliskan, “Berarti airnya nggak alami dong?” Ada lagi yang berkata, “Gue pikir langsung dari mata air yang mengalir, lho!”. Maka seperti bara yang kecil, video itu berubah menjadi api. Membakar kepercayaan. Memantik curiga. Mengguncang keyakinan publik terhadap botol-botol bening yang selama ini mereka percayai sebagai ‘air pegunungan asli’. Belum lagi disusul reels-reels lanjutan yang makin memojokkan brand tersebut.
Namun, seperti semua api yang menyala karena kabar separuh benar, kita perlu bertanya lebih dalam. Benarkah air dari bor itu bukan air pegunungan? Benarkah sumber dari dalam tanah berarti manipulasi? Atau justru, kita telah tertipu oleh ekspektasi visual yang dibentuk oleh iklan, bukan oleh literasi?. Di sinilah letak kesalahpahaman yang perlu diluruskan. Bahwa air yang diambil dari dalam tanah, terutama di kawasan pegunungan, justru adalah air yang secara ilmiah lebih terlindungi, lebih stabil, dan lebih aman dibandingkan air permukaan terbuka yang dikira “alami”.
Bayangkanlah sejenak, betapa kuatnya imajinasi yang dibangun oleh segelas air. Setiap tetesnya seolah datang dari hulu yang suci, jatuh di atas bebatuan granit, menari di sela-sela lumut, lalu jatuh ke dalam botol bening yang murni. Kita diajak percaya bahwa air terbaik adalah air yang mengalir di permukaan, yang bisa dilihat, yang bisa disentuh langsung dari mata air.
Namun pertanyaannya sederhana, apakah semua yang terlihat jernih benar-benar bersih? Apakah air yang mengalir terbuka, di antara akar pepohonan dan jejak kaki binatang liar, pasti lebih steril dibanding air yang telah meresap jauh ke dalam tanah selama puluhan tahun, disaring oleh lapisan batuan yang tak pernah tidur?
Di sinilah letak ironi yang tak banyak disadari. Ketika teknologi menghadirkan cara untuk mengambil air dari kedalaman bumi di tanah pegunungan dengan pengeboran dalam (deep well), dari rongga-rongga akuifer yang terlindungi oleh lapisan bebatuan, kita justru mencurigainya. Padahal, air itu telah melewati proses alamiah yang jauh lebih rumit dibanding sekadar mengalir di permukaan. Itulah yang disebut filtrasi geologis, suatu sistem penyaringan alami yang tidak bisa diciptakan oleh pabrik mana pun.
Secara hidrogeologis, air tanah (groundwater) yang berasal dari daerah pegunungan umumnya menunjukkan kualitas yang sangat baik. Karakteristiknya mengalir lambat, menyusup di antara pori-pori batuan, dan selama proses itu menyingkirkan kontaminan organik dan mikroorganisme. Berbagai studi menyebutkan bahwa akuifer pegunungan memiliki total dissolved solids (TDS) yang rendah, pH yang stabil, dan kandungan mineral esensial yang justru mendukung kesehatan tubuh manusia (Foster & Chilton, 2003).
Pengeboran ke dalam tanah bukanlah sekadar “menyedot air”, melainkan cara untuk menjangkau air yang telah tersimpan lama dalam rongga bumi, yang jauh dari polusi, jauh dari limpasan pupuk, kotoran hewan, jauh dari jejak pestisida dan polutan lainnya. Justru, air tanah dalam itulah yang dianggap lebih steril secara alami karena terlindungi dari paparan langsung lingkungan permukaan (Gleick, 1996).
Maka ketika sebuah merek air mineral mengambil air dari bor, kita tidak sepatutnya langsung curiga. Yang seharusnya kita tanyakan adalah: apakah pengeboran itu dilakukan dengan standar teknis yang tepat? Apakah pengambilan airnya berkelanjutan dan tidak merusak keseimbangan ekosistem? Apakah kualitas airnya diuji dan diawasi secara rutin?.
Jadi, sebelum kita mengutuk botol yang katanya “berbohong” soal asal airnya karena tak sesuai imajinasi, mungkin ada baiknya kita bertanya ulang. Apakah kita sedang haus akan air, atau haus akan cerita indah yang belum tentu benar?. Sudah saatnya kita memahami bahwa yang terpenting bukan apakah air itu berasal dari bor atau dari permukaan, melainkan bagaimana proses pengambilan, pengujian, dan pengelolaannya. Maka jika sebuah pabrik air mineral menyedot air dari bor dengan kedalaman terstandar, yang menjangkau akuifer pegunungan, mereka bukan sedang memalsukan “air alam”, melainkan justru mengambil air dari tempat paling murni yang bisa dijangkau manusia, dengan cara paling aman yang memungkinkan, menggunakan teknologi untuk memastikan air tetap murni dan berkelanjutan. Sebab sejatinya, kejernihan bukan selalu tampak di permukaan. Dan air terbaik, sering kali lahir dari kedalaman yang tak terjamah pandangan. Wallahu a'lam bishawab[HF].

