Luka yang Begitu Dekat dengan Dunia Kampus Kita

  • 01 Desember 2025
  • 02:18 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Luka yang Begitu Dekat dengan Dunia Kampus Kita

Pagi ini, bersma dengan dua tim juri lainnya, saya duduk di sebuah ruangan yang dinginnya bukan hanya berasal dari pendingin udara, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Di hadapan kami tampil sepuluh finalis penulis esai, anak-anak muda kreatif yang menyampaikan harapan melalui tulisan, sekaligus menguak kabar kelam yang selama ini kita geregam dan sembunyikan di balik pintu.

Kami mendengar, menyimak dan menatap wajah mereka satu per satu, dan perlahan, setelah sekian lama, saya merinding bukan karena kagum, tetapi karena ngeri. Karena di kecanggihan presentasi mereka, terurai data-data yang seharusnya membuat kita semua berlutut: kekerasan seksual ternyata bukan isu pinggiran, melainkan nadi gelap yang diam-diam mengalir di dalam kampus kita.

Kampus, ruang yang kita banggakan sebagai tempat cucuran ilmu, rahim peradaban, rumah bagi akal, ternyata bnayk retaknya. Retak halus yang lama-lama menjalar menjadi patahan besar. Retak yang bertahun-tahun kita lapisi cat prestasi, mural motivasi, dan jargon “Zona Aman”, sementara pada dindingnya tertinggal sidik-sidik trauma yang kita tak pernah benar-benar mau baca.

Tersingkap sebuah data terupdate, bagaimana 77% mahasiswa mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di salah satu kampus ternama di indonesia timur, dan 63% korban tidak melapor. Angka itu diletakkan di slide mereka tanpa drama, tapi justru di situlah dramanya: keheningan yang menggantung setelahnya sangat panjang, lebih panjang dari paragraf terpanjang dalam esai mana pun.

Seorang finalis lain menunjukkan bagan survey internal kampus. Anak-anak muda ini, yang seharusnya hidupnya sibuk mengejar ilmu, justru menginvestigasi lorong-lorong gelap kampus, yang kita dewasa pura-pura tidak lihat. Dalam salah satu presentasi, seorang finalis dari ilmu kedokteran menjelaskan bagaimana tubuh korban merespons ancaman melalui mekanisme biologis: fight, flight, atau freeze.

Freeze... Kata itu begitu menghantam. Korban ditertawakan karena “tidak melawan”, “diam saja”, “kenapa tidak berteriak?”. Padahal secara biologis, tubuhnya mematikan sementara fungsi protes. Sistem sarafnya, demi menyelamatkan diri, memilih membekukan semua energi. Dan semakin saya dengar, semakin menyadarkan bahwa  kampus sedang demam tinggi, menggigil, dan kita tidak menyadari gejalanya.

Ada finalis yang mengusulkan AmanBicara, chatbot AI yang mampu mengenali frasa-frasa getir yang mungkin tidak sanggup diucapkan manusia kepada manusia. Ada yang menciptakan Secure Space, sebuah QR Code sederhana yang bisa mengantar korban pada pintu aman tanpa harus membuka identitasnya pada kampus yang sering kali lebih cepat mempertanyakan kredibilitas korban dibanding kenyamanan mereka. Ada yang mengusulkan E-TAMA, modul wajib yang harus dibuka mahasiswa sebelum mengisi KRS, seakan berkata: “Kamu boleh memilih mata kuliah, tapi kamu tidak boleh memilih untuk tidak memahami batas tubuh manusia.” Ada yang menciptakan SIKAT, sistem eskalasi otomatis agar laporan tidak mati di meja birokrasi. Ada pula yang mengingatkan kita pada siri’ na pacce, nilai lokal lama yang mungkin terlupakan padahal seharusnya menjadi pondasi moral kampus sejak awal.

Paparan para finalis ibarat alarm. Alarm yang selama ini kita snooze berkali-kali. Kampus tidak bisa lagi bersembunyi di balik tembok tinggi, auditorium mewah, atau akreditasi unggul. Prestasi tidak berarti apa-apa jika tubuh dan batin mahasiswa retak di dalamnya. Ilmu tidak berarti apa-apa jika yang mengajarnya masih mengancam dengan kuasa. Gedung-gedung besar dan tinggi tidak berarti apa-apa jika di dalamnya ada lorong-lorong sunyi tempat rasa takut berdiam.

Kita perlu membangun kampus yang bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga menjaga. Kampus yang bukan hanya mengajar, tetapi mengasuh. Kampus yang bukan hanya penuh wacana, tetapi tegas dalam kebijakan. Kampus yang memahami bahwa mahasiswa yang aman akan belajar lebih baik daripada mahasiswa yang takut. Dan kita harus mulai dari sekarang. Dengan teknologi, dengan kebijakan, dengan nilai budaya, dengan empati, dengan keberanian untuk mengakui kelemahan sistem kita sendiri. Kampus bukan tempat suci yang kebal dari gelap. Tetapi ia bisa menjadi tempat yang secara sadar memilih untuk menyalakan cahaya.

Setelah seluruh presentasi berakhir, saya keluar dari ruangan itu dan belajar sesuatu yang sederhana namun mendalam. Para finalis bukan hanya menunjukkan solusi. Mereka menunjukkan cermin. Dan di dalam cermin itu, saya melihat refleksi kita semua, akademisi, pendidik, dan mereka para pengambil kebijakan yang selama ini berjalan dengan mata setengah tertutup.

Seharusnya melindungi mahasiswa bukan tugas tambahan. Itu inti dari pendidikan. Bahwa keberanian untuk mendengar adalah langkah pertama. Bahwa data bukan sekadar angka, tetapi napas orang-orang yang terluka. Bahwa inovasi teknologi bukan sekadar fitur, tetapi tetapi jembatan yang menyambungkan korban pada perlindungan yang semestinya mereka terima. Bahwa nilai budaya bukan sekadar tradisi, tetapi moral kompas. Bahwa trauma bukan kelemahan, tetapi bukti bahwa seseorang pernah berusaha bertahan.

Dan bahwa kampus UINAM tercinta, di atas segalanya, harus menjadi rumah. Rumah tempat setiap orang dapat mengatakan dengan tenang: “Di sini, tubuhku aman.”, “Di sini, suaraku didengar.”, “Di sini, aku manusia seutuhnya.” [HF].