Tolong, Hentikan Dosa Ekologis!

  • 03 Desember 2025
  • 12:10 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Tolong, Hentikan Dosa Ekologis!

Di penghujung November 2025, Sumatra kembali terpuruk dalam luka yang dalam. Ribuan warga terjebak di antara puing-puing rumah, lumpur, dan bayang-bayang ancaman yang terus mengintai. Komunikasi terputus, jalan-jalan utama amblas, dan banyak desa terisolasi dari dunia luar. Bantuan datang terlambat, terseok melawan medan yang rusak dan logistik yang tersumbat. Tragedi ini tidak datang tiba-tiba. Tapi lahir dari kealpaan panjang, dan sebagai seorang biolog, tak rela rasanya membiarkannya berlalu hanya sebagai berita satu pekan, lalu dilupakan.

Sebagian akan menyebut anomali cuaca sebagai biang kerok. Memang benar, pembentukan Siklon Tropis di Samudra Hindia telah meningkatkan curah hujan ekstrem di pesisir barat Sumatra. Hujan mengguyur tanpa henti, melampaui ambang normal. Tapi mari kita jujur: anomali siklon hanyalah pemantik. Api sebenarnya telah lama menyala dalam diam di balik hilangnya hutan, rusaknya lereng, terganggunya jalur air alami, dan hancurnya harmoni antara manusia dan lanskap ekologis yang menopangnya.

Jika sistem ekologis kita sehat, hujan deras tidak serta-merta berubah menjadi malapetaka.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, hutan telah dengan bebas dibuka, tanah kehilangan tutupan, dan aliran air kehilangan jalurnya. Maka ketika langit mengguyur lebih deras dari biasa, bumi sudah tidak lagi siap menerimanya.

Sumatra, pulau yang dikenal kaya akan keanekaragaman hayati dan kompleksitas ekologis, selama puluhan tahun terus mengalami tekanan yang kian berat. Deforestasi meluas dengan cepat, terutama untuk perluasan perkebunan sawit dan industri kehutanan. Berdasarkan data Global Forest Watch (2023), lebih dari 9 juta hektare hutan primer hilang di Indonesia sejak 2002, dan setengahnya terjadi di Sumatra. Provinsi Riau menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak, tergerus oleh ekspansi industri yang bergerak tanpa rem. Tidak hanya itu, kawasan konservasi yang semestinya menjadi benteng terakhir kini ikut terkikis. Di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Gunung Leuser, aktivitas ilegal telah merambah hingga zona inti, yang merusak habitat yang seharusnya tak tersentuh. Spesies endemik seperti harimau Sumatra, orangutan, dan gajah liar makin terpojok, tak lagi punya ruang untuk hidup. Mereka tak sekadar kehilangan hutan, mereka kehilangan masa depan.

Eksploitasi tambang batu bara dan emas pun terus menyusup ke lembah-lembah hijau. Aktivitas ini, yang sering kali berjalan tanpa kontrol dan akuntabilitas, menyebabkan erosi tanah, pencemaran sungai, dan ketidakstabilan geologis yang memperparah kerentanan wilayah. Alam yang mestinya menjadi perisai kini berubah menjadi luka terbuka.

Lalu siapa yang bertanggung jawab?. Sebagai akademisi, saya tidak lagi melihat bencana ini sebagai fenomena alamiah. Lebih sebagai buah dari serangkaian keputusan yang mengabaikan ilmu, melupakan kearifan lokal, dan mengesampingkan suara masyarakat sipil. Kebijakan yang berlaku selama ini terlalu sering memperlakukan hutan seolah beban yang menghalangi investasi, bukan sebagai kekayaan ekologis yang menopang keberlanjutan. Alam diperlakukan semata sebagai komoditas yang bisa dihitung nilainya di pasar, bukan sebagai sistem kehidupan yang menjaga keseimbangan dan keselamatan kita bersama

Kepada para pembuat kebijakan, ini bukan saatnya untuk defensif. Ini saatnya untuk bertindak. Jangan lagi berdiri di balik statistik dan narasi prosedural. Lihatlah wajah-wajah yang terdampak. Dengarkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Tolong hentikan dosa ekologis ini, segera dilakukan tanpa negosiasi lagi,

1.     Moratorium total terhadap pembukaan lahan di hulu DAS dan kawasan konservasi.

2.     Audit dan pencabutan izin-izin yang terbukti menyebabkan degradasi ekologis.

3.     Restorasi berbasis lanskap, bukan proyek tambal sulam atau penghijauan simbolik.

Bencana ini bukan yang pertama, dan tidak akan menjadi yang terakhir jika tidak ada perubahan arah. Ilmu pengetahuan telah memberikan peringatan berulang kali. Kini saatnya peringatan itu dijawab dengan keberanian. Karena jika kita gagal menjawabnya, maka kita tengah mewariskan kehancuran yang disengaja kepada generasi mendatang.

Tolong, hentikan dosa ekologis ini sekarang. Sebelum air kembali menenggelamkan rumah-rumah yang belum sempat dibangun kembali. Sebelum hutan-hutan terakhir berubah menjadi abu dan angka. Dan sebelum anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang tak lagi bisa mereka sebut sebagai alam. Na‘udzubillāhi min dzālik. [HF]