Apa Hijrahmu Tahun Ini?

  • 27 Juni 2025
  • 07:33 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Apa Hijrahmu Tahun Ini?

Refleksi 1 Muharram Seorang Biolog

Tahun baru tiba, bukan dengan dentuman kembang api atau pesta yang riuh membuncah, atau sekadar angka di kalender hijriah, melainkan sebagai pintu halim yang terbuka perlahan, menawarkan ruang sunyi bagi jiwa-jiwa yang bersedia merenung. Hari ini, kita tak sedang diminta bergegas. Justru kita diminta berhenti. Menunduk sejenak. Menengok ke dalam. Mengendap-endap menyusuri gang-gang hati yang lama tertutup oleh debu kesibukan. Dan di tengah keheningan itu, seringkali muncul satu bisikan lirih yang nyaris tenggelam oleh riuh dunia: “Apa hijrahmu tahun ini?”

Pertanyaan tentang perubahan yang sungguh-sungguh, tentulah bukan perkara mudah dijawab. Tapi barangkali, kita bisa mulai merenunginya dari apa yang sehari-hari kita saksikan. Di dunia biologi, perubahan bukanlah mitos atau slogan spiritual, melainkan fakta hidup yang tak terbantahkan. Di ruang laboratorium, kami terbiasa menyaksikan perubahan sebagai fakta biologis yang tak bisa dibantah. Mikroba pun tahu kapan saatnya berpindah, dari tanah ke inang, dari kehidupan bebas ke kehidupan terikat, dari strategi bertahan hidup ke strategi mutualistik. Hijrah bukan sekadar tindakan, melainkan strategi bertahan, bahkan kadang satu-satunya jalan untuk bertumbuh, karena diam di tempat kadang justru menyebabkan kemusnahan.

Ironisnya, hijrah sering kita bayangkan sebagai warisan kisah lampau, penuh romantika perjuangan, heroik dan jauh di sana, layak dikenang namun terlalu agung untuk dijalani. Seolah ia milik para sahabat, bukan milik kita yang hidup di zaman kini. Padahal, jika kita mau jujur, tubuh ini sendiri terus mengajarkan makna hijrah setiap hari. Sel kulit berganti. Neuron memperbarui sinapsnya. Sistem imun belajar dan beradaptasi dari setiap perjumpaan dengan dunia luar. Bahkan pada tingkat genetik, ada regulasi dan penyesuaian tiada henti. Maka tidakkah kita malu pada tubuh sendiri, bila jiwa kita tak pernah benar-benar berpindah dari luka lama, dari sikap lama, dari pola reaktif yang membatu, dari kelalaian yang kita ulang dengan tenang?

Hijrah bukan hnya tentang perpindahan geografis satu kota ke kota lain, sebagaimana Rasulullah berpindah dari Makkah ke Madinah. Lebih dari itu, hijrah adalah tentang berpindah dari nilai lama ke nilai baru, dari diri yang reaktif menjadi diri yang reflektif, dari ilmuwan yang hanya mencari data menjadi insan yang mencari makna.

Di dunia akademik, tak sulit menemukan diri terjebak dalam godaan stagnasi justru kerap menyamar dalam kesibukan, rutinitas yang tampak mulia tapi hampa: sibuk mengejar angka kredit, tenggelam dalam publikasi, mengoleksi validasi SKP. Tampak sangat produktif, ilmu berkembang, tapi hati bisa saja diam di tempat. Maka mungkin, justru di sinilah medan hijrah itu: bukan soal berpindah ruang atau jabatan, melainkan berpindah dari orientasi egoistik ke dedikasi otentik, dari ego menuju pengabdian, dari ambisi menuju keikhlasan. Hijrah untuk tidak hanya mengajar ilmu, tetapi juga menghidupkan hikmah. Hijrah untuk tidak hanya memahami proses biologis, tetapi juga memaknai proses hidup.

Saya teringat pada mikroba endosimbion yang kehilangan sebagian besar gennya demi menjadi bagian dari organisme yang lebih besar. Ia menanggalkan identitas otonomnya, tak lagi bisa hidup sendiri. Ia tak egois, tak rakus, menyerah bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa menyatu adalah jalan untuk bermakna. Justru dalam kehilangan itulah ia menjadi esensial, tak tergantikan. Lalu, apakah kita juga berani kehilangan sesuatu: ambisi, keserakahan, bhkan kemarahan demi peran yang lebih agung dalam tatanan kehidupan?

1 Muharram adalah undangan lembut untuk berpikir: Jika sel pun tahu kapan harus mati harus mati demi mempertahankan kehidupan tubuh, mengapa kita begitu takut meninggalkan kebiasaan lama yang jelas-jelas dapat merusak?. Hijrah saya tahun ini, dan mungkin juga hijrah kita semua adalah tentang keberanian menyikapi waktu. Bahwa umur bukan hanya angka, tapi ruang pertanggungjawaban. Bahwa ilmu bukan hanya akumulasi, tapi juga penyucian dan penjernihan. Dan bahwa hidup bukan sekadar berputar, tetapi juga bertumbuh.

Maka, jika hari ini Anda duduk dalam sunyi, menatap langit pagi, dan hati Anda tiba-tiba bergetar oleh pertanyaan: “Apa hijrahku tahun ini?,” jangan buru-buru menjawab. Biarkan ia menetap. Biarkan ia meresap. Sebab barangkali, dari pertanyaan itulah jalan jalan mendekatkan diri kepada Allah akan terbuka, perlahan, tapi pasti. Wallahu a'lam bishshawab. [HF]