Bakteriofage, Asa yang Terlalu Kecil untuk Disadari?

  • 22 Juli 2025
  • 08:00 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Bakteriofage, Asa yang Terlalu Kecil untuk Disadari?

Di tanah yang airnya menjadi sumber hidup, tambak atau kolam bukan sekadar petak basah yang ditebar benih. Di sana adalah dunia kecil tempt ikan atau udang dibesarkan dengan penuh harap. Tapi air, bagaimanapun ramah riaknya, tak selalu bebas dari bahaya. Dari sanalah penyakit sering bermula, datang dengan wujud bakteri yang tak terlihat, menyerang diam-diam, menimbulkan kematian, meninggalkan kerugian dan kecemasan yang tak bisa dihitung hanya dengan angka.

Dalam menghadapi ancaman itu, antibiotik telah lama menjadi juru selamat. Namun waktu telah mengajari kita: yang dipakai terlalu sering, akan kehilangan keampuhannya, resistensi pun hadir. Efektivitas turun, dan di sinilah dunia akuakultur berdiri di persimpangan: antara bertahan dengan cara lama yang tak lagi menjanjikan, atau mencari jalan lain yang mungkin lebih selaras dan bersahabat dengan ekosistem.

Bakteriofage, yang akrab disapa “faga”, adalah kelompok virus yang menjadikan bakteri sebagai satu-satunya sasarannya. Namun, begitu kata virus disebut, naluri ketakutan sering langsung terpicu. Sebab dalam imajinasi awam, virus selalu identik dengan penyakit, pandemi, dan kehancuran. Padahal, faga berdiri di sisi lain dari narasi itu. Ia bukan pembawa penyakit, melainkan pemangsa bakteri, termasuk yang patogen dengan ketepatan yang nyaris matematis.

Dalam terapi akuakultur, faga masih jarang dilirik sebagai opsi. Tapi bila kita menengok lebih dekat, prinsip kerjanya menyimpan keanggunan tersendiri. Faga mengenali inangnya, yaitu sel bakteri dengan sangat spesifik. Ia menempel pada permukaan bakteri yang cocok, lalu menginjeksikan materi genetiknya ke dalam sel target. Setelah itu, dua jalan terbuka: pertama pada siklus litik, faga mengambil alih mesin sel bakteri, memaksa bakteri memproduksi komponen tubuh virus dalam jumlah besar, hingga akhirnya sel bakteri meledak (lisis) dan melepaskan generasi baru faga untuk menginfeksi sel lain. dan kedua pada siklus lisogenik, pada sel bakteri yang memiliki daya pertahanan yang masih tangguh, materi genetik faga menyatu diam-diam dengan genom bakteri, bersembunyi dan hadir dalam tiap pembelahan, hingga suatu saat dapat berubah menjadi aktif dan masuk ke fase litik.

Keunggulan aplikasinya adalah tidak menyentuh mikrobiota lain, tidak mengganggu jaringan tubuh ikan atau udang, tidak meninggalkan residu kimia, dan tidak mendorong resistensi sebagaimana antibiotik. Faga bekerja layaknya sniper: tajam, terarah, dan tanpa suara. Aplikasinya tidak menimbulkan efek samping, tidak merusak lingkungan, dan meninggalkan medan perang dalam keadaan bersih dari ledakan. Jika antibiotik adalah bom, maka faga adalah peluru cerdas, yang tahu siapa musuh dan siapa yang tidak.

Baru-baru ini, sebuah tim bimbingan dari laboratorium mikrobiologi kami berhasil membuktikan kembali potensi tersebut. Kali ini dari sudut-sudut perairan tambak lokal, mereka mengisolasi faga dari air dan sedimen, lalu mengultur dan memurnikannya. Dalam uji laboratorium terhadap ikan percobaan yang terpapar patogen akuakultur seperti Vibrio dan Aeromonas, hasilnya mengejutkan: tingkat mortalitas menurun signifikan, kesehatan ikan terjaga, bahkan daya kerjanya sebanding dengan antibiotik komersial yang biasa digunakan petani.

Apakah ini penemuan baru? Tidak. Dunia sudah lama mengenal faga sejak awal abad ke-20. Tapi yang membuat studi ini berarti adalah konteksnya: bahwa temuan itu muncul dari tambak-tambak yang amat dekat dengan kehidupan kita, dari kerja tangan-tangan telaten mahasiswa yang sabar menyaring dan merawat mikroba di bawah mikroskop cakrawalanya, bukan sekadar membaca referensi dari luar negeri. Ini adalah penguatan. Sebuah suara lokal yang menjawab panggilan global. Bahwa faga bukan sekadar wacana akademik, melainkan bisa diakses, dibudidayakan, dan digunakan secara praktis dalam sistem akuakultur tropis kita.

Boleh dikata, mungkin kita tak sedang menemukan sesuatu yang besar. Tapi kita sedang menyadari bahwa yang kecil bisa menyelamatkan, yang sunyi bisa menenangkan, dan yang selama ini ditakuti bisa jadi adalah sahabat yang salah dikenali. Faga seolah membisikkan harapan untuk semesta di saat banyak teknologi lain menimbulkan kecemasan baru.

Dalam dunia akuakultur yang letih menghadapi resistensi dan degradasi, terlalu bising oleh klaim dan kecemasan, faga hadir sebagai penjaga yang tak bersuara. Dan mungkin, justru penjaga-penjaga seperti itulah yang paling kita butuhkan sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab. [HF]