Ketika Oksigen Menjadi Racun: Paradoks dan Refleksi atas Bakteri Anaerob
Menyampaikan materi yang sama di dua kelas berbeda dalam satu hari, sejatinya bukan perkara sulit—tapi, jujur saja, tetap saja ada rasa kurang puas. Ada jeda yang hilang, seringkali ada bagian yang luput tersampaikan. Mungkin karena ritme penyampaian yang tak pernah benar-benar bisa diulang dengan presisi yang sama, sehingga menghadirkan sedikit bosan. Emmm, itulah seni mengajar—tak pernah identik, bahkan untuk topik yang sama. Setiap ruang punya nadanya sendiri, setiap pertemuan melahirkan versinya masing-masing.
Hari ini, dalam arus rutinitas itu, saya kembali bersua dengan satu tema klasik dalam Mikrobiologi—teori dasar yang justru makin memesona karena kesederhanaannya menyimpan teka-teki yang tak lekang: pengelompokan bakteri berdasarkan kebutuhan oksigennya sebagai salah satu faktor kunci yng memepngaruhi pertumbuhannya. Barangkali terdengar teknis, namun di baliknya, tersembunyi pelajaran hidup yang tak kalah filosofis. Berbicara tentang oksigen—gas mulia yang selama ini kita agung-agungkan sebagai nafas kehidupan. Namun, ternyata tidak semua makhluk sependapat dengan kesepakatan kita. Tidak semua butuh oksigen. Tidak semua menganggapnya sebagai berkah.
Apa yang terjadi ketika kehidupan justru tumbuh subur dalam kelamnya gelap, dalam sunyi yang hampa udara? Bagaimana jika yang bagi kita adalah sumber kehidupan, bagi yang lain justru menjadi racun mematikan?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengendap, membisikkan satu kesadaran: bahwa keberagaman di dunia mikroorganisme bukan hanya variasi biologis, melainkan juga cerminan kompleksitas semesta. Di titik itulah saya menyadari—mempelajari mikroorganisme bukan hanya soal memahami struktur sel atau metabolismenya, tetapi juga memahami bahwa kehidupan selalu punya cara yang tak terduga untuk mengekspresikan dirinya. Termasuk, lewat mereka yang memilih hidup tanpa oksigen.
Anaerob obligat. Sebuah istilah sederhana, terdengar datar di telinga para mikrobiolog. Namun jika didengar dengan rasa, mengandung ironi biologis yang pekat dan nyaris filosofis. Betapa tidak—bakteri-bakteri ini bukan hanya tak membutuhkan oksigen, tetapi benar-benar menolaknya. Bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka memang dirancang untuk hidup tanpa kehadirannya. Bagi mereka, oksigen bukan sahabat, melainkan musuh; bukan anugerah, melainkan ancaman. Tidakkah ini membingungkan kita, yang sejak dini didoktrin bahwa oksigen adalah nafas kehidupan?
Lalu, kita pun bertanya: bagaimana mungkin ada kehidupan yang tumbuh justru dari ketiadaan oksigen? Bukankah oksigen adalah lambang vitalitas, denyut nafas semua makhluk? Apakah bisa ada hidup tanpa ‘napas’ sebagaimana kita memahaminya?. Di sinilah, sains mengoprak misteri dengan kecermatannya. Di balik ketidaklaziman itu, terdapat mekanisme yang sangat logis: bakteri anaerob obligat tidak memiliki perangkat enzimatik pelindung terhadap reaktivitas oksigen sebagai oksidator kuat. Tak ada superoxide dismutase, catalase, atau peroxidase yang bertugas menetralisir dalam jalur detoksifikasi oksigen reaktif. Maka, oksigen bagi mereka bukan hanya tak berguna—ia adalah racun yang membakar, seperti matahari bagi malam, seperti badai dalam ruang hampa.
Namun justru di sana, dalam keberbalikan itu, kita melihat wajah kehidupan yang lain—wajah yang tak seragam, yang tak tunduk pada definisi tunggal. Kehidupan, seperti halnya kebenaran, ternyata tidak pernah monolitik. Ia hadir dalam rupa yang ganjil, dalam versi-versi kecil yang melawan asumsi mayoritas. Dan di tempat-tempat yang kita kira tak layak huni—di lumpur rawa, di usus besar, di jaringan tubuh yang mati—di sanalah mereka bertakhta. Mereka berkembang, bersinergi, dan memainkan peran yang tak dapat digantikan oleh makhluk lain.
Dalam ekosistem, bakteri anaerob adalah seniman pengurai. Mereka mengolah residu kehidupan, memecah yang mati agar bisa dilahirkan kembali menjadi energi baru. Mereka bekerja diam, dalam ruang hampa udara, seperti sajak yang tak perlu dibaca lantang untuk bisa menggetarkan hati. Bahkan dalam dunia klinik, mereka menjadi kata kunci dalam diagnosis dan terapi infeksi tertentu, seperti tetanus atau gangren gas, yang disebabkan oleh Clostridium spp.—sebuah kelompok bakteri yang bagi sebagian kehidupan adalah ancaman, namun bagi ekosistem adalah penjaga.
Apakah ini bukan pelajaran bagi kita, bahwa hidup bukan hanya di tempat terang?, bahwa gelap bukan selalu berarti kematian, dan sunyi bukan berarti hampa?. Kita terbiasa memuja yang tampak, yang berkilau, yang penuh cahaya. Tapi bukankah ada benih-benih yang justru tumbuh dalam gelap tanah? Bukankah ada hikmah yang hanya bisa dicerna saat dunia hening?.
Keberadaan bakteri anaerob ini seakan ingin berkata: jangan terlalu cepat menilai dari cara hidup yang berbeda. Yang tidak seperti kita, bukan berarti salah. Yang tidak butuh oksigen, bukan berarti kurang hidup. Bahkan bisa jadi, mereka lebih kuat, lebih adaptif, lebih setia pada habitatnya.
Dari sisi epistemologi, pelajaran ini menohok kesadaran kita: bahwa kebenaran biologis pun bersifat kontekstual. Oksigen—yang dalam satu narasi disebut sumber hidup—dalam narasi lain bisa menjadi senyawa maut. Maka, dalam ilmu dan dalam hidup, kita perlu menyadari bahwa segala sesuatu perlu dibaca dalam konteksnya. Bahwa yang benar di satu tempat, bisa keliru di tempat lain. Bahwa standar kita bukan tolok ukur semesta.
Akhirnya, belajar tentang bakteri anaerob bukan hanya memperluas wawasan ilmiah, tapi juga membentuk kebijaksanaan batin. Mereka mengajarkan tentang keberagaman yang perlu dihargai, bukan dilawan. Mereka mengajarkan bahwa bahkan dalam dunia mikroorganisme yang tak terlihat, ada kebijaksanaan yang lebih dalam dari sekadar data. Sebagaimana mereka yang tumbuh dalam sunyi dan gelap, barangkali kita pun butuh ruang-ruang gelap untuk menumbuhkan pemahaman. Pemahaman yang tak lahir dari suara, tapi dari keheningan. Karena kadang, justru dari yang sunyi, yang kecil, dan yang asing, kita menemukan makna yang paling hakiki dari kehidupan.[HF]