Mengarusutamakan Gerakan Sadar Halal
Oleh : Dirhamzah,
S.Pdi., M.Pdi. (Dosen
prodi Biologi FST UINAM dan Satgas Halal Prov. Sul-Sel)
Dalam upaya mensukseskan program
pemerintah, dalam hal ini Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) (Lembaga yang berada di bawah naungan Kementerian Agama) dalam gerakan
akselerasi 10 juta produk bersertifikat halal melalui skema self declare perlu kiranya dilakukan
gerakan sadar halal.
Gerakan sadar halal pada
prinsipnya hanya menyasar dua hal: Pertama, pelaku usaha yang bergerak di
berbagai sektor sebagaimana yang disebutkan dalam PP 39 Tahun 2021 pasal 139
dan 241 yang meliputi produk makanan, minuman, bahan baku, bahan tambahan
pangan, bahan penolong untuk produk makanan minuman: hasil sembelihan dan jasa
penyembelihan; obat-obatan, kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetik
dan barang gunaan - dari semua tingkatan, mulai dari usaha mikro, kecil,
menengah hingga makro. Dan yang kedua adalah konsumen.
Bagi para pengusaha, khususnya
usaha mikro dan kecil (UMK) yang bergerak di sektor produk makanan, minuman,
bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan minuman,
hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, gerakan sadar halal mensyaratkan harus
sudah bersertifikat halal per 17 Oktober 2024, sebagai bagian dari
penahapan pertama kewajiban
bersertifikasi halal. Bilamana
pertanggal tersebut produk UMK belum tersertifikasi halal maka akan mendapat
sanksi sebagaimana telah diatur dalam aturan perundang-undangan. Jadi secara
mandatori, pertanggal 18 Oktober 2024 semua produk makanan dan minuman yang
beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Sertifikasi halal bagi pelaku
usaha memiliki banyak manfaat, salah satu di antaranya; meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk halal di dalam dan di luar negeri bagi pelaku
usaha.
Dalam upaya mendukung, membantu
serta mempermudah para pelaku usaha dalam mengurus sertifikat halal, pemerintah
dalam hal ini BPJPH dengan menggandeng beberapa instansi terkait sebagai
fasilitator meluncurkan program, salah satunya program SEHATI (Sertifikat halal
gratis) yang diperuntukkan khusus bagi pelaku usaha mikro kecil (UMK) melalui
skema self declare. Pelaku UMK dapat
mengurus sertifikat halal dengan syarat-syarat tertentu secara gratis.
Sementara, bagi usaha menengah melalui jalur reguler.
Namun kendati demikian, dari
puluhan jutaan UMKM yang terdaftar resmi yakni ; 64, 2 juta dengan rincian: Usaha
mikro 63.350.222 (96.68%), usaha kecil 783.132 (1.22%), Usaha menengah 60.702
(0.09%) dan usaha besar; 5.500 (0.01%) (Sumber; Kemenkop UKM RI Tahun 2018)
baru sebagian kecil yang "sadar halal". Hal itu dapat dilihat dari
data UMKM yang mengurus sertifikat halal masih sangat minim hingga saat ini.
Data BPJPH pertanggal 11 September 2023, menyebutkan produk yang sudah
bersertifikat halal rentang antara tahun 2019-2023 baru berjumlah 2.460.390.
Keengganan pelaku usaha tidak
atau belum mengurus sertifikat halal, boleh jadi terjadi karena saat ini pelaku
usaha merasa produk dan jualannya masih tetap saja laku seperti biasa meski
belum tersertifikasi halal oleh lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk
sementara, boleh jadi pelaku usaha juga merasa keberadaan sertifikat halal
tidak akan berpengaruh signifikan terhadap usaha mereka. Hal itu kemudian
diperparah karena saat ini belum berlaku sanksi bagi pelaku usaha yang tidak
bersertifikat halal.
Oleh karena itulah, gerakan sadar
hal ini justru harus dimassifkan pada sasaran yang kedua yaitu konsumen itu
sendiri. Gerakan sadar halal ini penting dimassifkan oleh konsumen karena pada
prinsipnya kebijakan wajib sertifikat halal ini ditempuh oleh pemerintah tidak
lain demi konsumen itu sendiri.
Pemerintah hadir ingin memberi jaminan, keamanan, keselamatan, kepastian
dan perlindungan terhadap konsumen akan ketersediaan produk halal, dalam hal
ini khususnya masyarakat yang beragama Islam. Bahwa apa yang dikomsumsi
warganya itu dapat dijamin kehalalannya. Itulah sebabnya salah satu asas
jaminan produk halal adalah asas perlindungan, yakni kehadiran JPH bertujuan
melindungi masyarakat muslim dari mengomsumsi dan menggunakan produk yang tidak
halal. (Pasal 2 UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal).
Tentu telah dipahami pula bahwa
langkah ini ditempuh pemerintah karena berangkat dari kesadaran atas pemahaman
dan keyakinan bahwa persoalan mengonsumsi makanan halal haram dalam Islam
adalah hal sangat prinsipil dalam beragama. Dalam berbagai ayat maupun dalam
hadis dengan tegas diperintahkan kepada
umat manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus agar mengonsumsi
makanan yang halal dan baik (baca QS. Al-Baqarah/2: 168, QS. al-Maidah/5 : 88
dan QS. Al-Nahl/16 : 114) dan melarang mengonsumsi makanan minuman yang
haram.
Perhatian terhadap makanan
minuman haram dalam pandangan Islam sangat urgen (QS. Abasa/80: 24) sebab tidak
hanya menyangkut manfaat dan mudarat bagi kesehatan manusia di dunia melainkan
berimplikasi juga pada persoalan kehidupan di akhirat. Seperti disebutkan dalam
sebuah hadis: "Wahai Ka'ab bin
Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan
yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya"(HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, berangkat dari
uraian di atas, sekali lagi, gagasan sertifikasi halal ini atas nama demi
konsumen, oleh karenanya konsumenlah yang seharusnya menjadi garda terdepan
dalam menyukseskan gerakan sertifikasi halal tersebut. Di antara wujud nyata
dari gerakan sadar dari para konsumen ialah diantaranya merubah pola belanja
dan konsumsi, dari permisif menjadi lebih selektif atau hati-hati. Misalnya,
sekarang hanya membeli atau berbelanja produk makanan minuman yang sudah jelas
kehalalannya atau hanya berbelanja pada warung-warung makan, ataupun di kedai-kedai
makanan siap saji yang sudah jelas telah tersertifikasi halal.
Dengan cara seperti itulah, pelan
tapi pasti akan "memaksa" pelaku usaha mengurus sertifikat halal atas
usaha atau produknya.
Begitupun, konsumen khususnya
yang beragama Islam mulai detik ini dan ke depannya tidak boleh lagi
beranggapan ala kadarnya bahwa tidak perlu se-selektif itu, toh kita hidup di
negara yang mayoritas muslim. Penjualnya pun adalah seorang muslim. Anggapan
dan mindset seperti ini sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, sebab anggapan
seperti inilah justru yang bisa dijadikan celah dan dimanfaatkan oleh pengusaha
nakal.
Di samping itu, hanya mendasarkan
pada penilaian bahwa kita hidup di negara mayoritas muslim dan berbelanja pada
penjual yang beragama Islam sudah lebih cukup sebagai jaminan adalah penilaian
yang juga keliru. Mengapa keliru? Itu karna penyebab keharaman sesuatu produk
makanan dan minuman itu tidak semata-mata hanya sekedar dilihat pada aspek
zatnya (dhahirnya) saja, berasal dari
bahan halal atau haram, melainkan juga harus dilihat pada aspek lainnya,
seperti tata cara pengolahannya. Dan di aspek inilah sesungguhnya menjadi titik
kritis dan krusialnya.
Mengapa krusial? Krusial karena
pada aspek ini sesuatu yang awalnya halal bisa saja berubah status menjadi
haram.
Mengapa bisa? Ilustrasi
sederhananya begini. Boleh jadi bahan dari produk makanan minuman yang akan
kita konsumsi memang berasal dari bahan halal, sebut saja contohnya berupa
daging sapi. Secara zat, daging sapi adalah hewan yang halal dikomsumsi, tetapi
boleh jadi pada tahap pengolahannya terjadi kesalahan sehingga menyebabkannya
berubah menjadi haram. Sebut saja misalnya, sapi itu tidak disembelih sesuai
dengan syariat Islam, atau bisa juga sudah disembelih sesuai syariat Islam,
tetapi dalam tahap penyajiannya terkontaminasi dengan zat haram lainnya atau
bercampur dengan bahan yang bernajis. Sebut saja contohnya, daging sapi
tersebut dibakar di wadah tempat pembakaran yang sama dengan tempat pembakaran
hewan yang diharamkan tanpa disterilkan wadah pembakarannya terlebih dahulu.
Nah, hal semacam ini, boleh jadi masih terjadi di sekitar kita dan penjual dan
pembeli abai atau luput terhadap itu.
Nah, keberadaan sertifikasi halal
tersebutlah dengan segala proses di dalamnya yang akan memegang peranan penting
dalam hal ini. Jadi sertifikasi halal itu tidak hanya sekedar kerja-kerja
administrasif yang hanya berujung pada dikeluarkannya selembar kertas berupa
sertifikat, lantas selesai persoalan. Tidak sesederhana itu. Tetapi sebelum
sertifikat itu dikeluarkan, harus melalui serangkaian pengujian, pembuktian dan
sekaligus pengawasan terhadap pelaku usaha, yang juga melibatkan berbagai
stakeholder, diantaranya BPJPH, LPH, MUI, pendamping dan petugas satgas halal.
Jadi urusan sertifikasi halal
tidak berakhir hanya pada dikeluarkannya sertifikat, melainkan dikeluarkan
sertifikat halal itu justru bertanda bahwa kerja-kerja pengawasan akan terus
berlangsung hingga batas berlakunya sertifikat halal tersebut berakhir.
Sebagai penutup dan penegasan. Perintah kepada
konsumen untuk berlaku selektif terhadap produk makanan minuman yanh hendak
dibeli dan dimakannya telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, salah satunya
Q.S. al-Baqarah/2 ayat 168 : "Wahai
manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagimu."