Masihkah Bermakna Peringatan HAM?

  • 10 Desember 2025
  • 05:33 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Masihkah Bermakna Peringatan HAM?

Ada masa ketika alam tak lagi memberi aba-aba, hanya menjawab perlakuan manusia. Ia tak lagi menjerit, hanya mengembuskan isyarat dalam bentuk bencana. Menjelang Desember, tanah di Sumatra merekah dan runtuh, air naik memeluk rumah-rumah yang tak lagi kokoh, dan nyawa pun melayang tanpa sempat dihitung dengan benar. Kita menyebutnya musibah, padahal alam hanya sedang mengembalikan apa yang telah kita acak dengan serakah. Di balik setiap banjir dan reruntuhan, tersimpan jejak-jejak kebijakan yang diam-diam membiarkan luka itu tumbuh dan membusuk.

Seperti biasa, negara datang membawa karung bantuan, senyum di depan kamera, dan janji-janji pemulihan yang sudah terlalu sering diucapkan. Tapi yang tak pernah benar-benar hadir adalah kejujuran: bahwa sebagian besar dari semua ini bukan bencana yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari keputusan yang mengabaikan suara bumi. Air yang meluap dan tanah yang runtuh bukan semata murka langit, tapi jeritan sunyi lingkungan yang telah terlalu lama dipaksa diam.

Tepat hari ini, di tengah lantang pidato dan seremoni Hari Hak Asasi Manusia, mari kita bertanya dengan suara yang tidak perlu ditundukkan: siapa yang mengizinkan hutan-hutan itu ditebang?. Siapa yang menandatangani alih fungsi kawasan resapan menjadi tambang dan perkebunan?. Siapa yang menyebut deforestasi sebagai “pembangunan”, padahal yang mereka bangun adalah jalan menuju bencana?. Dan lebih jauh lagi, siapa yang dengan enteng menyebut bencana ini sebagai takdir, padahal ia lahir dari deretan tanda tangan di atas kertas untuk keputusan-keputusan yang dibuat di ruang ber-AC, jauh dari desa-desa yang kini tinggal puing, berjauhan dari rakyat yang kelak akan menanggung akibatnya?.

Bencana tidak lahir dari langit yang murka. Ia tumbuh dari kelalaian yang dilembagakan, dari kerakusan yang diberi izin resmi, dari pohon-pohon yang ditebang tanpa jeda. Sungai kehilangan arah, bukit-bukit dilukai hingga telanjang, dan tanah yang dahulu sabar kini tak mampu lagi menopang air. Maka longsor pun datang. Banjir pun menerjang. Dan seperti biasa, rakyat kecil diminta untuk bersabar, seolah sabar bisa menggantikan keadilan yang tak kunjung tiba.

Lalu negara datang lagi, kali ini dengan belasungkawa dan retorika penanggulangan. Tapi bagaimana mungkin berbicara tentang hak asasi manusia jika negara sendiri gagal menjaga hak rakyat untuk hidup aman? Apakah hak untuk hidup layak hanya milik mereka yang tinggal di kota besar?. Apakah hak untuk tidak tenggelam setiap tahun tak cukup penting dibanding investasi yang dipuja dalam laporan pertumbuhan ekonomi?.

HAM bukan sekadar hak untuk bersuara di media sosial, atau memilih dalam pemilu. Juga menyangkut hak atas lingkungan yang sehat, atas udara yang bisa dihirup tanpa racun, atas air yang mengalir tanpa ancaman. Ia tentang kebijakan yang berpihak pada kehidupan, bukan pada angka laba.

Ketika para pengambil keputusan lebih sibuk mendengarkan suara korporasi daripada rintihan bumi yang terluka, maka yang dikorbankan bukan hanya alam dan ekosistemnya, tapi juga hak-hak asasi manusia yang tak pernah diajak bicara tentang masa depan mereka sendiri. Mereka yang kelak akan tumbuh di tanah yang tandus, menghirup udara yang pengap, dan mewarisi negeri yang terlalu cepat menua karena keserakahan yang dilegalkan.

Di Hari HAM ini, kita tidak butuh pidato-pidato yang berbunga. Kita butuh keberanian untuk menunjuk siapa yang selama ini bersembunyi di balik istilah “pembangunan”, padahal yang mereka bangun adalah reruntuhan masa depan. Karena jika kita terus membiarkan mereka yang merobek hutan lalu menyebutnya kemajuan, maka jangan heran jika tahun depan kita akan menangisi luka yang sama. Hanya tanggalnya saja yang berubah. Naudzubillah min dzalik.[HF]