Mikrobiota, Obesitas, dan Makna Pengendalian Diri: Sebuah Renungan Jelang Berbuka
Ramadhan adalah bulan cahaya—bulan ketika siang menuntun kita dalam kelapangan sabar, dan malam merangkai doa dalam keheningan. Di antara jeda lapar dan dahaga, kita belajar untuk mengendalikan diri, menahan gejolak yang sering kali lebih sulit dikekang daripada sekadar menunggu waktu berbuka.
Namun, betapa ironisnya, ketika senja turun dan adzan Maghrib berkumandang, sebagian dari kita justru kehilangan kendali. Perut yang kosong sejak fajar seakan menuntut balas dendam. Piring-piring penuh terhidang, gelas-gelas manis diteguk dengan rakus, dan di sanalah kita—memenuhi perut dengan segala yang bisa ditampung, seakan-akan takut kelaparan akan kembali menyapa.
Di dalam tubuh kita, tanpa kita sadari, ada kehidupan lain yang turut menunggu dan beradaptasi dengan setiap suapan yang kita masukkan. Mikrobiota usus—triliunan makhluk renik yang mengatur pencernaan, metabolisme, bahkan imunitas—berlakon dalam senyap, memainkan perannya dalam mengolah setiap serpihan makanan. Namun, jika komposisinya bergeser, jika keseimbangan itu goyah, maka tubuh kita pun merespons dengan cara yang tak selalu kita harapkan.
Obesitas bukan sekadar soal berapa banyak yang kita makan, tetapi juga bagaimana tubuh—dan mikroba yang hidup di dalamnya—memproses makanan tersebut. Para Ilmuwan melaporkan bahwa proporsi mikrobiota yang salah dapat menjadikan seseorang lebih efisien dalam menyerap energi dari makanan, menyebabkan berat badan bertambah meskipun porsi tak selalu berlebihan. Komposisi mikrobiota yang tidak seimbang—dengan dominasi mikroba tertentu seperti Firmicutes dibanding Bacteroidetes—dapat meningkatkan efisiensi penyerapan energi dari makanan, membuat seseorang lebih rentan mengalami kenaikan berat badan. Sederhananya, bagi sebagian orang, kelebihan berat badan bukan hanya soal pola makan, tetapi juga soal bagaimana mikroba dalam tubuh mereka memproses makanan tersebut. Dan di sinilah letak paradoksnya: tanpa kita sadari, kita sendiri yang telah menyuplai “bahan bakar” mikroba-mikroba untuk perlahan mengubah tubuh kita.
Lalu, bagaimana dengan jiwa kita?. Bukankah Rasulullah ﷺ telah bersabda,
"Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus makan lebih banyak, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara." (HR. Tirmidzi)
Sabda ini lebih dari sekadar nasihat. Ia adalah cerminan kehidupan—tentang bagaimana manusia kerap terjebak dalam kelebihan, padahal sejatinya kehidupan berjalan dengan keseimbangan. Sebagaimana mikrobiota yang menjaga harmoni di dalam tubuh, manusia pun seharusnya menjaga harmoni dalam hidupnya—antara kebutuhan dan keinginan, antara kesederhanaan dan kerakusan, antara bersyukur dan berlebih-lebihan.
Puasa datang bukan untuk menyiksa, tetapi untuk menyembuhkan. Bukan hanya menyucikan tubuh, tetapi juga menenangkan gejolak batin. Secara ilmiah, puasa yang dilakukan dengan benar membantu mengembalikan keseimbangan mikrobiota, mengurangi peradangan, dan menyegarkan kembali sistem metabolisme yang telah lama terbebani. Namun lebih dari itu, puasa adalah tentang kemenangan—bukan atas rasa lapar, tetapi atas diri kita sendiri.
Maka, di bulan yang suci ini, mari kita bertanya kepada diri sendiri: Siapa yang sesungguhnya mengendalikan tubuh ini? Kita, atau hawa nafsu?.
Jika mikroba dalam tubuh bisa berubah dengan apa yang kita makan, maka bukankah kita juga bisa mengubah diri dengan cara kita hidup? Jika perut kita bisa dikosongkan dari makanan, mengapa hati kita masih penuh dengan keserakahan?
Ramadhan bukan sekadar ritual. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa diri kita sesungguhnya. Maka, mari berpuasa dengan penuh kesadaran. Bukan sekadar hanya untuk tubuh, tetapi juga untuk jiwa. Wallahu a'lam.[HF]