Tiga Hari yang Tak Sama dengan 72 Jam

  • 21 Oktober 2025
  • 01:16 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Tiga Hari yang Tak Sama dengan 72 Jam

Aroma kuat antiseptik di ruang tunggu laboratorium rumah sakit ini berbaur dengan kecemasan yang menggantung di udara. Dinginnya pun tajam dan perlahan menembus dinding batin. Kursi-kursi plastik berderet seperti saksi bisu dari berbagai kisah tubuh yang sedang berjuang dengan caranya masing-masing. Di sudut ruangan, seorang ibu mengelus kepala anak kecilnya yang tampak lemah, tangan satunya menggenggam jemari mungil itu erat-erat. Mata anak itu sayu, tapi di sana masih menyala seberkas tekad kecil yang tak padam oleh demam. Ketika nomornya dipanggil, sang ibu menggiring anaknya perlahan menuju meja periksa. “Sudah tiga hari,” kudengar samar, dengan nada di antara harap dan cemas. Petugas laboratorium mencatat singkat, mengajukan beberapa pertanyaan tambahan, lalu berkata lembut, “Kita ambil darahnya sekarang, Bu. Sudah masuk 72 jam.” Mereka pun memasuki ruang laboratorium.

Refleks kutatap jam di dinding. Sekilas, angka itu terdengar sederhana. Tetapi di dunia medis, waktu tidak diukur oleh kalender atau pergantian malam ke hari berikutnya, melainkan oleh ritme biologis tubuh yang berjalan setia dalam detik-detik fisiologisnya. Banyak yang keliru mengira “tiga hari” berarti tiga kali matahari terbit. Padahal, bagi tubuh, hari baru tidak dimulai saat langit berganti warna, tetapi ketika sistem imun telah menempuh satu siklus penuh, yaitu 24 jam. Itulah sebabnya, hitungan yang digunakan dokter bukanlah “hari ketiga,” melainkan “jam ke-72.” Sebuah cara pandang yang lahir dari pemahaman panjang tentang ritme pertempuran antara tubuh dan penyusup mikroskopik di dalamnya, durasi di mana sistem kekebalan mulai menanggalkan topeng kepuraannya.

Dalam dua puluh empat jam pertama demam, sistem imun baru menyalakan alarmnya. Di balik kulit dan jaringan, sel-sel penjaga yang disebut makrofag mulai berteriak lewat bahasa molekul. Mereka melepaskan sitokin, pesan kimia yang menandakan bahaya dan memanggil bala bantuan. Hipotalamus, sang pengatur suhu tubuh, menerima sinyal itu dan segera menaikkan ambang suhu normal. Panas tubuh meningkat bukan karena kelemahan, tetapi sebuah strategi. Tubuh sedang mengubah dirinya menjadi medan perang yang tidak bersahabat bagi musuhnya. Menggigil yang terasa di permukaan kulit hanyalah akibat dari kontraksi otot yang menaikkan panas, sebuah aksi biologis yang indah dalam logikanya, meski membuat tubuh gemetar tak nyaman.

Memasuki 2 x 24 jam, pertempuran dalam tubuh kian memanas. Sel darah putih mulai membanjiri aliran darah. Neutrofil dan limfosit bekerja dalam senyap namun dengan keganasan yang nyaris puitis. Mereka mengejar, menelan, dan menghancurkan penyusup, sementara tubuh mulai terasa lemah karena seluruh energinya diarahkan untuk bertahan. Sumsum tulang bekerja seperti pabrik tanpa jeda, memproduksi pasukan imun baru setiap jam. Namun pada titik ini, darah belum bisa berbicara jujur. Tanda-tanda infeksi, baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri, masih tumpang tindih. Tubuh sedang menulis kisahnya, tetapi kalimatnya belum selesai. Membaca hasil laboratorium pada fase ini sama seperti membaca surat yang baru ditulis separuhnya, belum ada kejelasan, belum ada klimaks.

Lalu tibalah jam ke-72, batas waktu yang diam-diam sangat dihormati oleh ilmu kedokteran. Di sinilah tubuh mulai menampakkan arah pertempuran. Bila yang menyerang adalah virus, biasanya sistem imun mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan berupa demam mereda, sel darah putih menurun, dan antibodi mulai mengambil alih kendali. Namun bila musuhnya bakteri, situasinya jauh berbeda. Suhu tetap tinggi, peradangan meningkat, dan tubuh mulai semakin kelelahan. Pola perubahan ini terbaca jelas pada darah, di mana leukosit melonjak, trombosit menurun, dan protein inflamasi seperti prokalsitonin naik tajam. Sains membaca semua ini bukan sebagai angka semata, melainkan sebagai bahasa tubuh yang sedang menjelaskan nasibnya sendiri, apakah ini demam virus yang akan mereda dengan waktu, atau infeksi bakterial yang menuntut intervensi antibiotik.

Darah yang diambil dan dianalisis terlalu cepat sering kali menipu pembacanya. Pada jam-jam awal, sel imun belum mencapai puncak reaksinya, protein belum sepenuhnya terinduksi, trombosit mungkin masih tampak normal, padahal sedang bersiap menurun. Tetapi di jam ke-72, tubuh telah membuka kartunya. Semua indikator berpadu dan dapat ditranslasi sebsgai narasi yang dapat dimengerti. Karena itu, pemeriksaan laboratorium bukan sekadar “menunggu tiga hari,” melainkan memberi waktu bagi tubuh untuk menyampaikan kebenarannya dengan jujur. Ia harus melalui fase inkubasi biologis dari respons imun, fase ketika kisah gangguan fisiologis baru dapat disingkap secara utuh.

Menunggu hingga 72 jam bukanlah bentuk menunda, melainkan penghormatan terhadap kebijaksanaan tubuh menampakkan tandanya. Alam bekerja dengan ritmenya sendiri, tergesa hanya akan membuat kita salah membaca pesan yang belum selesai ditulis. Seperti penyair yang menunggu kata paling tepat, tubuh pun menunggu saat yang sesuai untuk mengucapkan kejujurannya. Maka ketika jarum suntik menembus kulit kecil seorang anak di jam ke-72 demamnya, yang sebenarnya terjadi bukan sekadar pengambilan sampel darah, melainkan upaya mendengarkan tubuh pada waktu yang paling tepat.

Namun, waktu juga punya sisi lain yang tak boleh diabaikan. Jika pemeriksaan dilakukan terlalu lambat, tubuh bisa kehilangan momentum pentingnya. Setelah 72 jam, respons imun bisa mulai berubah arah. Bila infeksi bakteri dibiarkan tanpa intervensi, proses peradangan dapat berkembang menjadi lebih luas, bahkan merusak jaringan. Begitu pula bila demam virus tak kunjung reda invasinya, tubuh mungkin sudah memasuki fase lain yang memerlukan penilaian ulang. Terlambat membaca sinyal tubuh sama berisikonya dengan terburu-buru menafsirkannya.

Kutatap ibu itu ketika melintas ke loket lain. Di balik wajah lelahnya, ada cinta yang menunggu jawaban. Di balik tetesan darah kecil itu, tubuh sedang memainkan simfoni kehidupan, berusaha menyeimbangkan diri antara sakit dan sehat. Dan di sela denyut waktu yang berjalan pelan, kukembali lirih menakjubkan kebesaran-Nya, betapa tubuh manusia tak pernah berbohong. Ia hanya butuh waktu untuk bercerita. Dan di jam ke-72, setelah tiga hari perjuangan yang senyap, tubuh akhirnya berbicara dengan jujur, dengan lengkap, dan dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau mendengarkan. Wallaahu a‘lam bisshawaab. [HF]