Oleh: Prof. Dr. Hafsan, S.Si., M.Pd. (Guru Besar Jurusan Biologi FST UIN Alauddin Makassar)
Industri pangan adalah salah satu sektor yang paling menggelora, sarat dengan inovasi yang tiada henti sehingga sangat dinamis. Dari waktu ke waktu, kita menyaksikan munculnya tren dan terobosan baru yang mengubah cara kita memandang dan menikmati makanan. Salah satu terobosan terkini dalam industri pangan adalah penggunaan enzim yang dikenal sebagai "Meat Glue" yang tiada lain merupakan Transglutaminase. Dalam tulisan singkat ini, kita akan menjelajahi lebih dalam mengenai enzim yang berlakon sebagai Meat Glue, dampaknya dalam mengubah makanan yang lebih estetik, serta pandangan keislaman terkait inovasi ini.
Meat Glue atau Transglutaminase, adalah enzim yang ditemukan pertama kali pada tahun 1959. Enzim ini memiliki kemampuan untuk mengikat protein secara kovalen, yaitu dengan cara membentuk ikatan kimia yang kuat antara molekul-molekul protein. Proses tersebut memungkinkan penggabungan bahan makanan yang sebelumnya terpisah, bahkan jika memiliki struktur dan tekstur yang berbeda. Dalam prosesnya, Meat Glue berinteraksi dengan asam amino tertentu, terutama glutamin dan asam aspartat, yang ada dalam protein makanan. Enzim ini kemudian membantu menghubungkan molekul-molekul protein ini, menciptakan ikatan yang kuat yang menggabungkan bahan makanan dengan erat. Dalam industri pangan, Meat Glue digunakan untuk menggabungkan potongan daging yang berbeda menjadi satu bentuk yang lebih besar atau lebih padat. Ini membuka peluang kreatifitas yang luar biasa dalam menciptakan hidangan yang tidak hanya memukau mata tetapi juga lidah. Salah satu contoh penggunaan Meat Glue yang terkenal adalah dalam pembuatan "daging rakitan" atau "daging tanpa tulang." Dalam proses ini, potongan-potongan daging yang biasanya kurang bernilai digabungkan dengan Meat Glue untuk membentuk potongan daging yang terlihat seperti potongan daging berkelas seperti tenderloin atau sirloin. Hasilnya adalah produk daging yang lebih murah tetapi memiliki tampilan dan tekstur yang sama dengan daging premium.
Transglutaminase adalah enzim yang dapat dihasilkan secara alami atau diproduksi secara buatan. Enzim ini juga dapat ditemukan dalam jumlah kecil pada berbagai organisme, termasuk manusia. Dalam produksi komersial, transglutaminase biasanya diproduksi melalui teknologi rekombinan. Proses ini melibatkan penggunaan mikroorganisme seperti bakteri yang dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi enzim Transglutaminase dalam jumlah besar. Sumber bahan baku untuk produksi Transglutaminase dapat bervariasi, tetapi biasanya melibatkan sumber protein yang mengandung glutamin, seperti daging, ikan, atau bahkan biji-bijian tertentu. Protein-protein ini dipecah menjadi sumber glutamin, yang kemudian digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan enzim Transglutaminase. Proses ini diawasi secara ketat untuk memastikan bahwa enzim yang dihasilkan adalah murni dan aman untuk digunakan dalam industri pangan.
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan Transglutaminase dalam industri pangan harus mematuhi regulasi dan pedoman keamanan pangan yang berlaku. Produk yang mengandung enzim ini juga harus jelas dalam labelnya agar konsumen dapat membuat keputusan yang tepat terkait dengan konsumsi makanan yang mengandung Meat Glue.
Salah satu alasan utama di balik popularitas Meat Glue adalah kemampuannya untuk menciptakan makanan yang lebih menarik secara visual dan sensorik. Restoran dan koki profesional sering menggunakannya untuk menciptakan hidangan yang tampak sangat mengesankan. Sebagai contoh, mereka dapat menggabungkan potongan-potongan ikan dengan Meat Glue untuk membuat roll sushi yang indah atau memadukan potongan daging sapi dan ayam untuk menciptakan hidangan daging yang unik. Meat Glue juga digunakan untuk menciptakan makanan dengan tekstur yang berbeda-beda. Dengan menggabungkan berbagai potongan daging dengan Meat Glue, koki dapat menciptakan hidangan yang memiliki kombinasi tekstur yang unik, seperti kombinasi daging yang renyah dengan daging yang lebih lembut.
Penggunaan Meat Glue dalam industri pangan jelas mampu mengubah cara kita memandang dan mengonsumsi makanan. Pemanfaatannya membuka pintu untuk kreativitas yang tak terbatas dalam pengembangan hidangan baru. Namun, sebagaimana terjadi pada setiap inovasi di ranah industri pangan, timbul sorotan dan kontroversi yang memerlukan pertimbangan mendalam. Salah satu aspek positif dari Meat Glue adalah pengurangan limbah pangan. Dengan menggabungkan potongan-potongan daging yang sebelumnya kurang berharga, industri dapat mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi dalam pengolahan makanan. Selain itu juga dapat membantu dalam mengurangi tekanan pada stok daging premium yang seringkali terbatas. Namun bayangan kekhawatiran pun tak urung mengepung, terutama terkait kehalalannya. Aspek krusial yang perlu dipastikan adalah proses produk meat glue yang digunakan. Sebagai produk berbasis bioproses mikroba, penggunaan mikroba merupakan titik kritis utama kehalalan yang meliputi sumber mikroba, isolat mikroba, substrat pertumbuhan mikroba, dan produk metabolisme mikroba tersebut. Sumber mikroba seperti darah, bagian dari tubuh babi seperti usus, bagian dari tubuh hewan yang mati dan kotoran hewan dapat menyebabkan proses menjadi haram. Mikroba terpilih untuk industri pangan haruslah bersifat nontoksik bagi manusia, selain itu modifikasi genetik pada mikroba harus menjadi fokus. Modifikasi mikroba dapat menjadi haram apabila menggunakan sumber gen yang didapatkan dari material haram seperti pada insersi gen pengkode c-amilase dari Babi dan insersi gen mrc-1 penghasil antimikroba yang berasal dari bakteri enterococcus dari Babi. Substrat atau media pertumbuhan juga perlu diperhatikan, bahan tersebut diperoleh dari mana apakah halal atau tidak. Beberapa medium yang menyebabkan produk menjadi tidak halal seperti bahan berbahan dasar darah/blood dan pepton yang diperoleh dengan enzim dari sumber haram. Media Brain Heart Infusion (BHI) mislnya, yang biasa digunakan untuk kultivasi bakteri, khamir, dan kapang. Komponennya terdiri dari kasein, brain hearth infusion babi, jaringan, NaCl, glukosa, dan disodium fosfat. Media tersebut tidak halal karena keberadaan BHI dari babi. Selain itu, metabolit atau produk metabolisme mikroba perlu diperhatikan terkait produksi etanol/alkohol. Jumlah etanol yang cukup tinggi dalam suatu produk pangan menyebabkan produk tersebut menjadi tidak halal. Jumlah minimal konsentrasi etanol dalam pangan yang menyebabkan ketidakhalalan suatu produk berbeda-beda di tiap negara sesuai kebijakan hasil fatwa masing-masing. Di Indonesia, batas maksimal kandungan etanol sebagai pelarut dalam produk pangan sesuai dengan Fatwa MUI No.4/2003 yaitu 1% sedangkan untuk negara lain sesuai dengan kebijakan masing-masing, dan etanol yang digunakan haruslah tidak diproduksi oleh industri alkhohol/khamr. Ekstraksi dengan etanol dapat dilakukan asalkan kadar alkohol yang tersisa pada produk tidak lebih dari 1%.
Selain aspek kehalalan produk, tidak menutup kemungkinan terkait dengan dengan integritas dalam penyajian hidangan di berbagai restoran misalnya. Beberapa konsumen mungkin akan merasa tertipu ketika mengetahui bahwa potongan daging yang tersaji mewah sebenarnya merupakan kombinasi dari berbagai potongan daging yang tadinya lebih murah. Olehnya, pentingnya transparansi dalam industri makanan dan perlunya pengungkapan yang jelas kepada konsumen.
Dalam Islam, makanan adalah salah satu aspek kehidupan yang sangat krusial. Ajaran Islam mengatur bagaimana makanan harus disiapkan, diolah, dan dikonsumsi. Salah satu prinsip penting dalam hal makanan dalam Islam adalah kehalalannya. Makanan yang dikonsumsi oleh umat Islam harus memenuhi standar kehalalan yang ketat. Penggunaan Meat Glue dalam industri pangan, ada beberapa pertimbangan yang perlu dipahami dari perspektif keislaman, diantaranya: asal bahan, kejelasan label dan sifat inovasinya.
Asal bahan, dimana dalam hukum Islam merupakan aspek yang sangat penting. Produk yang menggunakan Meat Glue, harus dipastikan bahwa transglutaminase tersebut berasal dari proses produksi enzim secara halal. Oleh karena itu, pemantauan dan pengawasan ketat harus diterapkan dalam rantai pasokan enzim pangan yang digunakan dalam produk-produk yang mengandung Meat Glue. Oleh karena itu, penting bagi otoritas kehalalan pangan untuk memastikan bahwa produsen mengikuti pedoman dan standar yang ditetapkan.
Kejelasan Label, dimana salah satu prinsip penting dalam hukum Islam adalah bahwa konsumen harus diberi informasi yang jelas tentang makanan yang mereka konsumsi. Dalam konteks Meat Glue, penting bagi produsen makanan untuk memberikan label yang jelas tentang penggunaan enzim ini pada produk mereka sehingga konsumen dapat membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang tepat.
Sebagai inovasi yang yang dibenarkan dalam Islam, jika penggunaan Meat Glue dapat meningkatkan efisiensi dalam pengolahan makanan dan mengurangi pemborosan, ini dapat dianggap sebagai bentuk penggunaan sumber daya yang bijaksana, yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks nilai-nilai keislaman, penting untuk memahami bahwa ilmu pengetahuan dan inovasi dapat menjadi anugerah Allah yang memungkinkan kita untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana. Namun, penggunaan inovasi ini juga harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan dengan menjaga prinsip-prinsip etis dan kehalalan dalam makanan.
Meat Glue adalah salah satu terobosan terkini dalam industri pangan yang telah mengubah cara kita memandang dan mengonsumsi makanan. Dengan kemampuannya untuk menciptakan hidangan yang menarik secara visual dan sensorik, Meat Glue telah menjadi piranti penting dalam kreativitas kuliner. Dengan demikian, Meat Glue adalah salah satu contoh konkret bagaimana inovasi dalam industri pangan menuntut kita untuk senantiasa menilik bahan dan proses pengolahan produk inovasi tersebut untuk pemastian status kehalalannya. Semoga kita dapat terus menelurkan ragam makanan yang enak, sehat, dan bermanfaat bagi kita semua sesuai dengan tuntunan nilai-nilai keislaman yang mulia. Aamiin Allahumma Aamiin ya Mujibassailin.