Makan Bergizi Gratis: Janji Manis yang Dapat Berbuah Pahit

  • 05:23 WITA
  • Admin_Bio
  • Artikel

Makan Bergizi Gratis: Janji Manis yang Dapat Berbuah Pahit

 

Gemuruh janji dan seruan politik pemerintah menggulirkan kebijakan Makan Bergizi Gratis bak pahlawan yang datang membawa angin surga. Seolah dengan satu langkah, negeri ini akan terbebas dari gizi buruk, seolah satu kebijakan bisa menghapus luka panjang ketimpangan ekonomi. Namun, apakah ini benar jalan keluar, atau hanya sekadar ilusi dalam ruang hampa yang mengabaikan realitas?

Tidak ada yang menolak hak anak-anak negeri untuk tumbuh dengan gizi yang cukup. Tetapi apakah hanya dengan membagi makanan, kita sudah menyelesaikan masalah? Gizi buruk bukan hanya soal piring kosong, tetapi juga soal nasib yang ditentukan oleh ekonomi, akses kesehatan, dan pendidikan yang tersendat. Tanpa solusi menyeluruh, program ini tak ubahnya daun gugur yang sebentar jatuh, lalu lenyap dihempas angin—Janji yang indah, tapi tanpa akar yang kokoh.

Langit-langit anggaran menganga luas, siap menelan triliunan rupiah. Namun, adakah jaminan bahwa uang ini benar-benar memberi manfaat? Betapa banyak sekolah masih kekurangan tenaga pengajar, sarpras minim, betapa banyak rumah sakit desa yang sekarat karena fasilitasnya tak memadai. Apakah kita benar-benar memberi makan anak-anak, atau sekadar memberi makan proyek ambisius yang akhirnya tak membekas?. Anggaran akan melayang dengan bebasnya untuk prioritas yang samar. 

Di sisi lain, sejarah telah berkisah, betapa program besar seperti ini kerap menjadi ladang empuk bagi para tikus-tikus rakus. Anggaran bisa saja turun, tetapi di manakah jaminan bahwa ia tidak akan menyusut di tangan mereka yang lebih lihai mengatur angka?. Dan bagaimana dengan pelosok negeri yang jauh dari pusat kebijakan?. Akankah anak-anak di desa kecil mendapatkan jatah yang sama dengan mereka yang berada di jantung kota?. Sekali lagi, bayang-bayang korupsi dan distribusi yang menyimpang tentu saja mengintai dengan leluasa. 

Kita butuh lebih dari sekadar lembaran janji tentang makanan gratis. Kita butuh sekolah dengan guru yang cukup, rumah sakit dengan dokter yang siap, tanah yang subur bagi para petani, serta pekerjaan bagi mereka yang lapar bukan hanya karena kurang makan, tetapi juga karena kurang kesempatan. Mengapa tidak kita kuatkan yang mendasar dulu, sebelum sibuk menghias permukaan?. Negeri ini butuh lebih dari sekadar makan gratis duhai pemerintah ku yang mulia.

Maka biarlah harapan ini melayang di angin. Jika program ini harus terlaksana, semoga ia tak menjadi sekadar panggung sandiwara yang megah namun hampa. Semoga ia benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi anak negeri, bukan sekadar mengenyangkan ambisi segelintir pihak. Semoga ia tidak hanya menjadi gelombang besar yang menggelegar di awal, lalu sirna tanpa bekas di kemudian hari dan meninggalkan kephitan. Dan jika takdir telah menetapkan bahwa ini tak bisa dihindari, semoga ia menemukan jalannya—menjadi kebijakan yang benar-benar membawa manfaat, bukan sekadar lembaran janji yang tertiup angin. Sebagai warga negara yang mendambakan kebaikan bagi negeri ini, kita hanya bisa menerima dengan pasrah. Pasrah yang bukan berarti tunduk tanpa daya, tetapi pasrah yang berwujud doa dan ikhtiar, agar keadilan dan kesejahteraan tetap menjadi cahaya yang menerangi langkah bangsa, bukan fatamorgana yang memudar di cakrawala.[HF]