[OPINI] Mengarusutamakan Gerakan Sadar Halal

  • 05-10-2023
  • 01:51 WITA
  • Dirhamzah, S.Pd.I., M.Pd.I
  • Opini

Mengarusutamakan Gerakan Sadar Halal 

Oleh : Dirhamzah, S.Pdi., M.Pdi. (Dosen prodi Biologi FST UINAM dan Satgas Halal Prov. Sul-Sel)

Dalam upaya mensukseskan program pemerintah, dalam hal ini Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) (Lembaga yang berada di bawah naungan Kementerian Agama) dalam gerakan akselerasi 10 juta produk bersertifikat halal melalui skema self declare perlu kiranya dilakukan gerakan sadar halal. 

Gerakan sadar halal pada prinsipnya hanya menyasar dua hal: Pertama, pelaku usaha yang bergerak di berbagai sektor sebagaimana yang disebutkan dalam PP 39 Tahun 2021 pasal 139 dan 241 yang meliputi produk makanan, minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan minuman: hasil sembelihan dan jasa penyembelihan; obat-obatan, kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetik dan barang gunaan - dari semua tingkatan, mulai dari usaha mikro, kecil, menengah hingga makro. Dan yang kedua adalah konsumen.

Bagi para pengusaha, khususnya usaha mikro dan kecil (UMK) yang bergerak di sektor produk makanan, minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, gerakan sadar halal mensyaratkan harus sudah bersertifikat halal per 17 Oktober 2024, sebagai bagian dari penahapan  pertama kewajiban bersertifikasi halal.  Bilamana pertanggal tersebut produk UMK belum tersertifikasi halal maka akan mendapat sanksi sebagaimana telah diatur dalam aturan perundang-undangan. Jadi secara mandatori, pertanggal 18 Oktober 2024 semua produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Sertifikasi halal bagi pelaku usaha memiliki banyak manfaat, salah satu di antaranya; meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk halal di dalam dan di luar negeri bagi pelaku usaha.

Dalam upaya mendukung, membantu serta mempermudah para pelaku usaha dalam mengurus sertifikat halal, pemerintah dalam hal ini BPJPH dengan menggandeng beberapa instansi terkait sebagai fasilitator meluncurkan program, salah satunya program SEHATI (Sertifikat halal gratis) yang diperuntukkan khusus bagi pelaku usaha mikro kecil (UMK) melalui skema self declare. Pelaku UMK dapat mengurus sertifikat halal dengan syarat-syarat tertentu secara gratis. Sementara, bagi usaha menengah melalui jalur reguler.

Namun kendati demikian, dari puluhan jutaan UMKM yang terdaftar resmi yakni ; 64, 2 juta dengan rincian: Usaha mikro 63.350.222 (96.68%), usaha kecil 783.132 (1.22%), Usaha menengah 60.702 (0.09%) dan usaha besar; 5.500 (0.01%) (Sumber; Kemenkop UKM RI Tahun 2018) baru sebagian kecil yang "sadar halal". Hal itu dapat dilihat dari data UMKM yang mengurus sertifikat halal masih sangat minim hingga saat ini. Data BPJPH pertanggal 11 September 2023, menyebutkan produk yang sudah bersertifikat halal rentang antara tahun 2019-2023 baru berjumlah 2.460.390.

Keengganan pelaku usaha tidak atau belum mengurus sertifikat halal, boleh jadi terjadi karena saat ini pelaku usaha merasa produk dan jualannya masih tetap saja laku seperti biasa meski belum tersertifikasi halal oleh lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk sementara, boleh jadi pelaku usaha juga merasa keberadaan sertifikat halal tidak akan berpengaruh signifikan terhadap usaha mereka. Hal itu kemudian diperparah karena saat ini belum berlaku sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bersertifikat halal.

Oleh karena itulah, gerakan sadar hal ini justru harus dimassifkan pada sasaran yang kedua yaitu konsumen itu sendiri. Gerakan sadar halal ini penting dimassifkan oleh konsumen karena pada prinsipnya kebijakan wajib sertifikat halal ini ditempuh oleh pemerintah tidak lain demi konsumen itu sendiri.  Pemerintah hadir ingin memberi jaminan, keamanan, keselamatan, kepastian dan perlindungan terhadap konsumen akan ketersediaan produk halal, dalam hal ini khususnya masyarakat yang beragama Islam. Bahwa apa yang dikomsumsi warganya itu dapat dijamin kehalalannya. Itulah sebabnya salah satu asas jaminan produk halal adalah asas perlindungan, yakni kehadiran JPH bertujuan melindungi masyarakat muslim dari mengomsumsi dan menggunakan produk yang tidak halal. (Pasal 2 UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal).

Tentu telah dipahami pula bahwa langkah ini ditempuh pemerintah karena berangkat dari kesadaran atas pemahaman dan keyakinan bahwa persoalan mengonsumsi makanan halal haram dalam Islam adalah hal sangat prinsipil dalam beragama. Dalam berbagai ayat maupun dalam hadis dengan tegas  diperintahkan kepada umat manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus agar mengonsumsi makanan yang halal dan baik (baca QS. Al-Baqarah/2: 168, QS. al-Maidah/5 : 88 dan QS. Al-Nahl/16 : 114) dan melarang mengonsumsi makanan minuman yang haram. 

Perhatian terhadap makanan minuman haram dalam pandangan Islam sangat urgen (QS. Abasa/80: 24) sebab tidak hanya menyangkut manfaat dan mudarat bagi kesehatan manusia di dunia melainkan berimplikasi juga pada persoalan kehidupan di akhirat. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis:  "Wahai Ka'ab bin Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya"(HR. Ahmad dan Tirmidzi).  

Oleh karena itu, berangkat dari uraian di atas, sekali lagi, gagasan sertifikasi halal ini atas nama demi konsumen, oleh karenanya konsumenlah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyukseskan gerakan sertifikasi halal tersebut. Di antara wujud nyata dari gerakan sadar dari para konsumen ialah diantaranya merubah pola belanja dan konsumsi, dari permisif menjadi lebih selektif atau hati-hati. Misalnya, sekarang hanya membeli atau berbelanja produk makanan minuman yang sudah jelas kehalalannya atau hanya berbelanja pada warung-warung makan, ataupun di kedai-kedai makanan siap saji yang sudah jelas telah tersertifikasi halal.

Dengan cara seperti itulah, pelan tapi pasti akan "memaksa" pelaku usaha mengurus sertifikat halal atas usaha atau produknya.

Begitupun, konsumen khususnya yang beragama Islam mulai detik ini dan ke depannya tidak boleh lagi beranggapan ala kadarnya bahwa tidak perlu se-selektif itu, toh kita hidup di negara yang mayoritas muslim. Penjualnya pun adalah seorang muslim. Anggapan dan mindset seperti ini sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, sebab anggapan seperti inilah justru yang bisa dijadikan celah dan dimanfaatkan oleh pengusaha nakal.

Di samping itu, hanya mendasarkan pada penilaian bahwa kita hidup di negara mayoritas muslim dan berbelanja pada penjual yang beragama Islam sudah lebih cukup sebagai jaminan adalah penilaian yang juga keliru. Mengapa keliru? Itu karna penyebab keharaman sesuatu produk makanan dan minuman itu tidak semata-mata hanya sekedar dilihat pada aspek zatnya (dhahirnya) saja,  berasal dari bahan halal atau haram, melainkan juga harus dilihat pada aspek lainnya, seperti tata cara pengolahannya. Dan di aspek inilah sesungguhnya menjadi titik kritis dan krusialnya.

Mengapa krusial? Krusial karena pada aspek ini sesuatu yang awalnya halal bisa saja berubah status menjadi haram.

Mengapa bisa? Ilustrasi sederhananya begini. Boleh jadi bahan dari produk makanan minuman yang akan kita konsumsi memang berasal dari bahan halal, sebut saja contohnya berupa daging sapi. Secara zat, daging sapi adalah hewan yang halal dikomsumsi, tetapi boleh jadi pada tahap pengolahannya terjadi kesalahan sehingga menyebabkannya berubah menjadi haram. Sebut saja misalnya, sapi itu tidak disembelih sesuai dengan syariat Islam, atau bisa juga sudah disembelih sesuai syariat Islam, tetapi dalam tahap penyajiannya terkontaminasi dengan zat haram lainnya atau bercampur dengan bahan yang bernajis. Sebut saja contohnya, daging sapi tersebut dibakar di wadah tempat pembakaran yang sama dengan tempat pembakaran hewan yang diharamkan tanpa disterilkan wadah pembakarannya terlebih dahulu. Nah, hal semacam ini, boleh jadi masih terjadi di sekitar kita dan penjual dan pembeli abai atau luput terhadap itu.

Nah, keberadaan sertifikasi halal tersebutlah dengan segala proses di dalamnya yang akan memegang peranan penting dalam hal ini. Jadi sertifikasi halal itu tidak hanya sekedar kerja-kerja administrasif yang hanya berujung pada dikeluarkannya selembar kertas berupa sertifikat, lantas selesai persoalan. Tidak sesederhana itu. Tetapi sebelum sertifikat itu dikeluarkan, harus melalui serangkaian pengujian, pembuktian dan sekaligus pengawasan terhadap pelaku usaha, yang juga melibatkan berbagai stakeholder, diantaranya BPJPH, LPH, MUI, pendamping dan petugas satgas halal.

Jadi urusan sertifikasi halal tidak berakhir hanya pada dikeluarkannya sertifikat, melainkan dikeluarkan sertifikat halal itu justru bertanda bahwa kerja-kerja pengawasan akan terus berlangsung hingga batas berlakunya sertifikat halal tersebut berakhir.

Sebagai penutup dan penegasan. Perintah kepada konsumen untuk berlaku selektif terhadap produk makanan minuman yanh hendak dibeli dan dimakannya telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, salah satunya Q.S. al-Baqarah/2 ayat 168 : "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."