Korupsi dan Cermin Retak Peradaban (Sebuah Introspeksi di Hari Antikorupsi Sedunia)
Hari ini peringatan Hakordia kembali mengetuk dinding kesadaran bangsa, seperti gema yang memantul di lorong sejarah panjang Nusantara. Negeri ini, subur tanahnya, kaya lautnya, tetapi langkahnya sering tertatih oleh lumut korupsi yang merayap diam diam. Seperti akar parasit yang menjerat batang pohon, mengisap harapan pelan namun pasti, hingga kita bertanya dalam sunyi: mengapa tanah yang kaya justru kerap memerih.
Sebagai seorang pendidik, renungan itu terasa menikam lebih dalam. Di ruang kuliah tak jarang bicara tentang integritas, tentang ilmu yang harus menjadi cahaya dan bukan pisau gelap yang melukai. Namun di luar sana, kabar demi kabar menampakkan betapa sebagian manusia tergoda menjual amanah demi angka angka yang fana. Apakah kita telah cukup menjaga hati dari godaan itu. Atau jangan jangan selama ini kita hanya sibuk mengutuk gelap tetapi lupa menyalakan lilin di tangan sendiri.
Korupsi sejatinya bukan sekadar tindak kriminal, melainkan cermin retak dari krisis moral, namun lahir bukan hanya dari kekuasaan, tetapi dari kealpaan manusia menjaga nurani. Ketika jabatan menjadi ruang membangun diri, bukan ruang membangun negeri, maka korupsi tumbuh seperti jamur selepas hujan. Korban utamanya bukan cuma ekonomi, tetapi runtuhnya kepercayaan publik, sesuatu yang jika pecah tidak mudah terajut kembali.
Maka pada momen ini marilah kita berhenti sejenak, menarik napas panjang dan menundukkan kepala dalam hening. Lalu bertanya pada hati yang paling sunyi: sudahkah aku jujur dalam ilmu yang kutanam, dan sungguh sungguh memanfaatkan waktu yang telah diamanahkan. Sudahkah aku mengajar bukan hanya dengan materi, melainkan dengan keteladanan akhlak. Sudahkah aku hidup tanpa mengambil hak siapa pun, bahkan dalam bentuk yang tak tampak oleh mata. Sebab perubahan negeri tidak bermula dari lantang suara di mimbar atau panjangnya pidato, tetapi dari sebuah ruang kecil dalam diri, saat seseorang berani berkata "cukup" dan memulai perbaikan dari dirinya sendiri.
Hakordia bukan sekadar tanggal dalam kalender nasional, melainkan panggilan moral. Agar pemegang pena, penguasa ruang kelas, pelayan publik, serta rakyat jelata berdiri sebagai penjaga nilai nilai bangsa. Allah telah mengingatkan dalam firman Nya, "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.... (QS Al Baqarah 188). Jika kita ingin Nusantara tumbuh megah seperti pohon tua yang teduh, maka akar kejujuran harus kita rawat dengan kesungguhan dan rasa takut kepada Tuhan.
Barangkali refleksi kecil ini belum mampu meruntuhkan tembok kebiasaan buruk yang mengakar, tetapi setiap sungai besar bermula dari tetesan pertama. Semoga hari ini lahir tetesan itu dalam diri kita masing masing. Aamiin yaa rabbal alamin.[HF]

