OPINI LIAR : Mahasiswa sebagai Penjaga Lentera Literasi di Rimba Digital

  • 24 Desember 2024
  • 03:10 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

OPINI LIAR : Mahasiswa sebagai Penjaga Lentera Literasi di Rimba Digital

Penulis : Muh Azhar S.Putra (Koordinator UKH Biosense 2024)

Di tengah derasnya arus informasi di era digital, literasi digital menjadi mercusuar bagi masyarakat untuk bernavigasi dengan cerdas di lautan data. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat elektronik, melainkan seni memilah, menganalisis, dan menyikapi informasi secara bijak. Dalam dinamika ini, mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai garda terdepan yang mampu membangun budaya literasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.Di tengah derasnya arus informasi di era digital, literasi digital menjadi mercusuar bagi masyarakat untuk bernavigasi dengan cerdas di lautan data. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat elektronik, melainkan seni memilah, menganalisis, dan menyikapi informasi secara bijak. Dalam dinamika ini, mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai garda terdepan yang mampu membangun budaya literasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Sebagai kaum intelektual yang lekat dengan semangat perubahan, mahasiswa bagaikan pena yang menorehkan tinta pada lembaran masa depan bangsa. Peran mereka dalam meningkatkan budaya literasi digital dapat diibaratkan seperti arsitek yang mendesain struktur peradaban digital agar tidak runtuh oleh berita palsu, ujaran kebencian, atau banjir informasi yang tidak kredibel.
Namun, ironisnya, kita masih sering menemukan beberapa mahasiswa yang lebih sibuk mencari filter Instagram terbaru daripada meluangkan waktu untuk memverifikasi berita yang mereka sebarkan. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, bukan tak mungkin generasi intelektual justru menjadi penyumbang utama krisis literasi digital.

Mahasiswa sebagai Literatus Digital

Mahasiswa adalah katalisator perubahan yang mengemban tanggung jawab moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka bukan hanya penonton di panggung transformasi digital, melainkan aktor utama yang mampu mengolah teknologi menjadi alat pemberdayaan. Dalam hal ini, mahasiswa harus menjadi literatus digital, yakni individu yang tidak hanya paham teknologi, tetapi juga mampu membangun narasi literasi yang kritis, kreatif, dan konstruktif.

Menurut hasil survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai 215 juta jiwa, namun tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih berada di level sedang. Survei ini juga menunjukkan bahwa 28,7% responden pernah menjadi korban hoaks di media sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah sangat "ahli" menyebarkan informasi yang belum tentu benar, mungkin karena prinsip "asal cepat, urusan belakangan" sudah mendarah daging.
Seperti seorang koki yang memadukan bahan baku menjadi hidangan lezat, mahasiswa dapat mengolah data menjadi informasi yang bergizi untuk masyarakat. Mereka dapat memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan konten edukatif yang mendorong masyarakat berpikir kritis dan memanfaatkan teknologi secara positif.

Menanamkan Budaya Literasi Digital: Dimulai dari Kampus

Kampus adalah taman yang subur untuk menanam benih literasi digital. Di sinilah mahasiswa dapat memanfaatkan lingkungan akademik untuk menciptakan komunitas literasi yang solid. Perpustakaan digital, diskusi kelompok, hingga seminar daring dapat menjadi media untuk memperkuat literasi digital di kalangan mahasiswa.

Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menginisiasi program Digital Society Literacy, di mana mahasiswa dilibatkan dalam mengedukasi masyarakat tentang cara memanfaatkan teknologi digital secara etis dan produktif. Program ini terbukti meningkatkan kesadaran literasi digital di komunitas lokal sekitar kampus.

Sayangnya, program seperti ini tidak akan berarti banyak jika sebagian mahasiswa lebih tertarik pada scrolling TikTok tanpa tujuan jelas. Bagaimana bisa mengedukasi masyarakat, jika mereka sendiri masih menjadi korban algoritma?

Mahasiswa juga dapat menjadi agen literasi digital dengan menyelenggarakan pelatihan atau workshop untuk masyarakat umum. Misalnya, pelatihan tentang cara mengenali berita palsu, memahami keamanan digital, atau mengelola media sosial secara bijak. Langkah-langkah ini akan menjadi benih yang tumbuh menjadi pohon literasi digital yang rindang, memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Menghadapi Tantangan Era Digital: Mahasiswa sebagai Pengawal Etika

Di era digital, tantangan yang dihadapi tidak hanya datang dari aspek teknologi, tetapi juga dari aspek etika dan budaya. Hoaks, cyberbullying, hingga eksploitasi data pribadi adalah beberapa ancaman yang harus dihadapi. Di sinilah mahasiswa dapat berperan sebagai pengawal etika digital.

Mahasiswa dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga etika dalam bermedia sosial, seperti menghormati privasi, tidak menyebarkan informasi tanpa verifikasi, dan menjaga komunikasi yang santun. Mereka juga bisa menjadi advokat literasi digital dengan mendorong regulasi yang melindungi hak-hak pengguna internet.

Sebagai contoh, mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil menciptakan application plugin yang mendeteksi tingkat keakuratan berita di internet. Sayangnya, teknologi canggih ini mungkin dianggap tidak relevan bagi mereka yang lebih peduli pada "drama artis" dibandingkan fakta yang sesungguhnya.

Memanfaatkan Kreativitas untuk Literasi Digital

Mahasiswa era kini adalah generasi kreatif yang akrab dengan bahasa visual dan multimedia. Kreativitas ini dapat menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan literasi digital. Konten berbasis video, infografis, hingga podcast dapat digunakan untuk menyampaikan pesan literasi secara menarik dan mudah dipahami.

Seorang mahasiswa yang menciptakan vlog edukasi tentang literasi digital, misalnya, mampu menjangkau audiens yang lebih luas dibandingkan ceramah konvensional. Dengan memanfaatkan media sosial, mahasiswa dapat membangun kampanye literasi digital yang viral dan berdampak. Namun, ini hanya akan efektif jika kontennya mampu bersaing dengan video "konten prank" yang tampaknya lebih populer di kalangan pengguna muda.

Mahasiswa dan Masa Depan Literasi Digital

Masa depan literasi digital Indonesia terletak di tangan generasi muda, terutama mahasiswa. Mereka adalah harapan untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat, di mana informasi mengalir seperti sungai jernih yang mengaliri pemikiran masyarakat.

Namun, harapan ini akan sia-sia jika mahasiswa tidak menyadari tanggung jawab mereka. Karena, jika kaum intelektual justru sibuk menjadi pengikut tren dangkal, siapa lagi yang akan memimpin perubahan?

Sebagai kesimpulan, peran mahasiswa dalam meningkatkan budaya literasi digital adalah tanggung jawab besar yang harus diemban dengan penuh kesadaran. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan dunia digital dengan nilai-nilai moral dan intelektual, membimbing masyarakat untuk tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pemanfaat teknologi yang cerdas dan bijaksana.

Dengan menjadikan literasi digital sebagai bagian dari identitas mereka, mahasiswa dapat menciptakan perubahan yang bermakna, mewariskan budaya digital yang sehat untuk generasi mendatang, dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul di era digital.