OPINI LIAR : Mahasiswa sebagai Penjaga Lentera Literasi di Rimba Digital
Penulis : Muh Azhar S.Putra (Koordinator UKH Biosense 2024)
Di tengah derasnya arus informasi di era digital, literasi digital menjadi mercusuar bagi masyarakat untuk bernavigasi dengan cerdas di lautan data. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat elektronik, melainkan seni memilah, menganalisis, dan menyikapi informasi secara bijak. Dalam dinamika ini, mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai garda terdepan yang mampu membangun budaya literasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.Di tengah derasnya arus informasi di era digital, literasi digital menjadi mercusuar bagi masyarakat untuk bernavigasi dengan cerdas di lautan data. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat elektronik, melainkan seni memilah, menganalisis, dan menyikapi informasi secara bijak. Dalam dinamika ini, mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai garda terdepan yang mampu membangun budaya literasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai kaum intelektual yang lekat dengan semangat perubahan, mahasiswa bagaikan pena yang menorehkan tinta pada lembaran masa depan bangsa. Peran mereka dalam meningkatkan budaya literasi digital dapat diibaratkan seperti arsitek yang mendesain struktur peradaban digital agar tidak runtuh oleh berita palsu, ujaran kebencian, atau banjir informasi yang tidak kredibel.Namun, ironisnya, kita masih sering menemukan beberapa mahasiswa yang lebih sibuk mencari filter Instagram terbaru daripada meluangkan waktu untuk memverifikasi berita yang mereka sebarkan. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, bukan tak mungkin generasi intelektual justru menjadi penyumbang utama krisis literasi digital.
Mahasiswa
sebagai Literatus Digital
Mahasiswa
adalah katalisator perubahan yang mengemban tanggung jawab moral untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka bukan hanya penonton di panggung
transformasi digital, melainkan aktor utama yang mampu mengolah teknologi
menjadi alat pemberdayaan. Dalam hal ini, mahasiswa harus menjadi literatus
digital, yakni individu yang tidak hanya paham teknologi, tetapi juga mampu
membangun narasi literasi yang kritis, kreatif, dan konstruktif.
Menurut hasil survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai 215 juta jiwa, namun tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih berada di level sedang. Survei ini juga menunjukkan bahwa 28,7% responden pernah menjadi korban hoaks di media sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah sangat "ahli" menyebarkan informasi yang belum tentu benar, mungkin karena prinsip "asal cepat, urusan belakangan" sudah mendarah daging.
Seperti seorang koki yang memadukan bahan baku menjadi hidangan lezat, mahasiswa dapat mengolah data menjadi informasi yang bergizi untuk masyarakat. Mereka dapat memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan konten edukatif yang mendorong masyarakat berpikir kritis dan memanfaatkan teknologi secara positif.
Menanamkan
Budaya Literasi Digital: Dimulai dari Kampus
Kampus adalah taman yang subur untuk menanam benih literasi digital. Di sinilah mahasiswa dapat memanfaatkan lingkungan akademik untuk menciptakan komunitas literasi yang solid. Perpustakaan digital, diskusi kelompok, hingga seminar daring dapat menjadi media untuk memperkuat literasi digital di kalangan mahasiswa.
Sebagai
contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menginisiasi program Digital
Society Literacy, di mana mahasiswa dilibatkan dalam mengedukasi masyarakat
tentang cara memanfaatkan teknologi digital secara etis dan produktif. Program
ini terbukti meningkatkan kesadaran literasi digital di komunitas lokal sekitar
kampus.
Sayangnya, program seperti ini tidak akan berarti banyak jika sebagian mahasiswa lebih tertarik pada scrolling TikTok tanpa tujuan jelas. Bagaimana bisa mengedukasi masyarakat, jika mereka sendiri masih menjadi korban algoritma?
Mahasiswa juga dapat menjadi agen literasi digital dengan menyelenggarakan pelatihan atau workshop untuk masyarakat umum. Misalnya, pelatihan tentang cara mengenali berita palsu, memahami keamanan digital, atau mengelola media sosial secara bijak. Langkah-langkah ini akan menjadi benih yang tumbuh menjadi pohon literasi digital yang rindang, memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Menghadapi
Tantangan Era Digital: Mahasiswa sebagai Pengawal Etika
Di era
digital, tantangan yang dihadapi tidak hanya datang dari aspek teknologi,
tetapi juga dari aspek etika dan budaya. Hoaks, cyberbullying, hingga
eksploitasi data pribadi adalah beberapa ancaman yang harus dihadapi. Di
sinilah mahasiswa dapat berperan sebagai pengawal etika digital.
Mahasiswa
dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga etika dalam bermedia
sosial, seperti menghormati privasi, tidak menyebarkan informasi tanpa
verifikasi, dan menjaga komunikasi yang santun. Mereka juga bisa menjadi
advokat literasi digital dengan mendorong regulasi yang melindungi hak-hak
pengguna internet.
Sebagai contoh, mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil menciptakan application plugin yang mendeteksi tingkat keakuratan berita di internet. Sayangnya, teknologi canggih ini mungkin dianggap tidak relevan bagi mereka yang lebih peduli pada "drama artis" dibandingkan fakta yang sesungguhnya.
Memanfaatkan
Kreativitas untuk Literasi Digital
Mahasiswa
era kini adalah generasi kreatif yang akrab dengan bahasa visual dan
multimedia. Kreativitas ini dapat menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan
literasi digital. Konten berbasis video, infografis, hingga podcast dapat digunakan
untuk menyampaikan pesan literasi secara menarik dan mudah dipahami.
Seorang mahasiswa yang menciptakan vlog edukasi tentang literasi digital, misalnya, mampu menjangkau audiens yang lebih luas dibandingkan ceramah konvensional. Dengan memanfaatkan media sosial, mahasiswa dapat membangun kampanye literasi digital yang viral dan berdampak. Namun, ini hanya akan efektif jika kontennya mampu bersaing dengan video "konten prank" yang tampaknya lebih populer di kalangan pengguna muda.
Mahasiswa
dan Masa Depan Literasi Digital
Masa
depan literasi digital Indonesia terletak di tangan generasi muda, terutama
mahasiswa. Mereka adalah harapan untuk menciptakan ekosistem digital yang
sehat, di mana informasi mengalir seperti sungai jernih yang mengaliri pemikiran
masyarakat.
Namun,
harapan ini akan sia-sia jika mahasiswa tidak menyadari tanggung jawab mereka.
Karena, jika kaum intelektual justru sibuk menjadi pengikut tren dangkal, siapa
lagi yang akan memimpin perubahan?
Sebagai kesimpulan, peran mahasiswa dalam meningkatkan budaya literasi digital adalah tanggung jawab besar yang harus diemban dengan penuh kesadaran. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan dunia digital dengan nilai-nilai moral dan intelektual, membimbing masyarakat untuk tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pemanfaat teknologi yang cerdas dan bijaksana.
Dengan menjadikan literasi digital sebagai bagian dari identitas mereka, mahasiswa dapat menciptakan perubahan yang bermakna, mewariskan budaya digital yang sehat untuk generasi mendatang, dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul di era digital.